Pelajar Pancasila vs Realita: Kenapa Bullying Masih Merajalela
Profil Pelajar Pancasila adalah konsep yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia untuk membentuk karakter siswa yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan generasi muda yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, menghargai kebinekaan, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.Â
Enam kompetensi utama ini diharapkan dapat menciptakan siswa yang tidak hanya unggul dalam prestasi akademis tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan moral yang baik. Nilai-nilai tersebut diintegrasikan dalam kurikulum dengan harapan agar peserta didik mampu menginternalisasi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum bertujuan untuk mencetak generasi yang berintegritas dan mampu menjadi warga negara yang baik. Kompetensi beriman dan bertakwa mengajarkan siswa untuk memiliki dasar keimanan yang kuat dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai agama dan moral.Â
Kompetensi berkebinekaan global menekankan pentingnya menghargai keragaman dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dengan penuh rasa hormat dan toleransi. Gotong royong mengajarkan siswa untuk bekerja sama dan membantu sesama, sementara mandiri mendorong siswa untuk mengatur diri sendiri dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Kompetensi bernalar kritis dan kreatif sangat penting dalam menghadapi tantangan dunia modern. Bernalar kritis mengajarkan siswa untuk berpikir analitis, mengevaluasi informasi, dan membuat keputusan yang bijak. Kreativitas mendorong siswa untuk berpikir inovatif dan mencari solusi baru untuk masalah yang dihadapi.
 Pembentukan karakter ini tidak hanya bertujuan untuk mencetak siswa berprestasi tetapi juga warga negara yang berbudi pekerti luhur dan mampu beradaptasi dalam masyarakat yang beragam.Â
Dengan nilai-nilai Pancasila yang tertanam dalam diri siswa, diharapkan mereka dapat menjadi agen perubahan yang positif dalam masyarakat. Namun, realitas di lapangan sering kali tidak sejalan dengan idealisme ini. Bullying, yang seharusnya berkurang dengan penerapan nilai-nilai Pancasila, masih menjadi masalah serius di banyak sekolah di Indonesia.
Bullying di sekolah terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk fisik, verbal, sosial, dan siber. Meski pemerintah dan berbagai pihak telah berusaha keras untuk menanamkan nilai-nilai moral dalam diri siswa, mengapa bullying masih merajalela? Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya pengawasan di lingkungan sekolah.Â
Banyak kasus bullying terjadi di tempat-tempat yang jauh dari pengawasan guru dan staf sekolah, seperti di toilet, lorong-lorong, atau di luar gerbang sekolah. Ketika pengawasan kurang, pelaku bullying merasa lebih bebas untuk melakukan tindakan intimidasi tanpa takut akan konsekuensi.
Selain itu, budaya sekolah yang tidak mendukung juga menjadi faktor penting. Di beberapa sekolah, budaya saling mengolok-olok atau bahkan kekerasan mungkin dianggap hal yang biasa. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif dan memungkinkan bullying terus berlanjut tanpa penanganan yang serius. Kurangnya edukasi tentang bullying juga berkontribusi pada masalah ini.
 Banyak siswa dan bahkan guru yang kurang paham tentang dampak negatif bullying dan cara mencegahnya. Edukasi yang kurang membuat bullying tidak dianggap sebagai masalah serius, sehingga tindakan preventif pun jarang dilakukan.
Pengaruh sosial dan media juga tidak bisa diabaikan. Di era digital ini, media sosial sering kali menjadi tempat bullying terjadi secara siber. Anonimitas di dunia maya membuat pelaku merasa lebih berani melakukan tindakan yang merugikan orang lain.Â
Selain itu, kondisi psikologis individu juga memainkan peran penting. Beberapa siswa mungkin terlibat dalam bullying karena mereka sendiri menghadapi masalah pribadi atau tekanan dari lingkungan rumah yang kurang harmonis.
Mengatasi bullying dalam konteks pengembangan Profil Pelajar Pancasila memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Mengubah pola pikir siswa dan staf sekolah tentang bullying adalah langkah pertama yang penting. Ini membutuhkan waktu dan usaha yang konsisten, serta integrasi nilai-nilai Pancasila yang efektif dalam setiap aspek pendidikan, baik di dalam maupun di luar kelas.Â
Pelatihan guru dan staf sekolah untuk mengenali tanda-tanda bullying dan cara menangani kasus bullying dengan tepat juga sangat penting. Guru harus dilatih untuk menjadi model peran positif yang dapat menginspirasi siswa untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Partisipasi orang tua dalam mengatasi bullying juga tidak kalah penting. Orang tua harus diajak berpartisipasi aktif dalam mendukung upaya pencegahan bullying dengan memberikan dukungan dan pemahaman yang baik kepada anak-anak mereka. Selain itu, penggunaan teknologi untuk mendeteksi dan mencegah bullying dapat menjadi solusi, namun perlu diimbangi dengan edukasi dan pengawasan yang tepat.
Profil Pelajar Pancasila menawarkan kerangka kerja yang ideal untuk membentuk karakter siswa Indonesia yang kuat dan berakhlak mulia. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa bullying masih menjadi masalah yang harus ditangani dengan serius. Untuk mengatasi ini, diperlukan kerjasama yang baik antara sekolah, orang tua, siswa, dan masyarakat.
 Edukasi, pengawasan, dan penanaman nilai-nilai Pancasila secara konsisten adalah kunci untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif bagi semua siswa. Dengan begitu, diharapkan bullying dapat dikurangi dan nilai-nilai Pancasila benar-benar terinternalisasi dalam setiap diri siswa. Hal ini tentu membutuhkan komitmen dan upaya bersama dari semua pihak terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H