Kedua, kemudahan mendapatkan obat dan perawatan. Setiap kabupaten/kota wajib mengimplementasikan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS.Â
Pemberian ARV dapat dilakukan di tingkat fasyankes primer oleh Dokter sesuai dengan kewenangan dasar dengan melakukan Test and Treat di mana inisiasi pengobatan ARV dilakukan segera setelah hasil tes HIV-nya positif.
Dalam hal ini Puskemas perlu didorong untuk lebih berperan sebagai ujung tombak terdepan untuk memberi pelayanan kesehatan ODHA.
Ketiga, kecukupan obat-obatan ARV yang bertujuan untuk mendukung pengobatan ODHA. Pemerintah melalui Kemenkes menetapkan target sampai dengan 60 persen pada tahun 2024. Setidaknya terdapat sekitar 10 jenis Obat ARV yang tersedia di Indonesia saat ini.
Ketersediaan stok ARV dan sebarannya di setiap kabupaten/kota perlu dijamin oleh pemerintah. Manajemen rantai pasok obat-obatan ARV ini penting diperhatikan agar tidak terjadi kekosongan seperti pada tahun 2020 maupun kadaluarsanya obat-obatan ARV.
Keempat, kepatuhan minum obat. Banyak kasus di mana ODHA sering tidak minum obat secara rutin. Efek samping sering menjadi masalah dalam pengobatan ARV dan toksisitas sering menjadi alasan mengganti atau menghentikan pengobatan ARV.
Padahal ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan ARV adalah salah satu penyebab rendahnya keberhasilan pasien ODHA dalam menekan penyebaran virus dalam tubuh, meningkatnya resiko penyebaran infeksi terhadap orang lain, dan menyebabkan tubuh mengalami resistensi dalam pengobatan.
Selain itu, penggunaan teknologi aplikasi berbasis android atau IOS yang terhubung pada fasyankes perlu didorong dalam rangka meningkatkan kepatuhan minum obat ARV untuk menurunkan angka kematian pada ODHA.
Kelima, harapan pada obat baru. Cabenuva telah mendapatkan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk ODHA seiring telah selesainya uji fase tiga.
Obat ini menawarkan pendekatan perawatan baru bagi orang yang hidup dengan HIV. Keuntungan obat ini hanya diberikan sekali suntik dalam sebulan. Ini berarti Cabenuva mengurangi hari pemberian dosis pengobatan dari 365 hari menjadi 12 hari per tahun.
Untuk dapat dipakai di Indonesia, pihak regulator perlu mempertimbangkan dan menganalisa lebih jauh terkait dengan efek samping, kemudahan cara pemberian obat, kemungkinan interaksi obat, penggunaan pada semua kelompok populasi serta keterjangkauan harga obat.