Kekerasan dan anomali karakter dalam dunia pendidikan belakangan semakin sering terkuak. Meninggalkan ceruk besar bahwa ada yang 'terlupa' dalam pola pendidikan karakter di sekolah. Muatannya minim konten yang berakar kuat dari sejarah kebudayaan bangsa. Sebutan Indonesia bangsa maritim, unggul pengetahuan dan gemar gotong royong semakin kabur tertutupi kuasa budaya kontemporer. Â
Reformasi Minus Basis Kebudayaan
Reformasi 1998 muncul akibat desakan penataan kehidupan berdemokrasi lebih baik. Kondisi yang tidak tertahankan (situasi politik, hukum, dan HAM) membuat reformasi saat itu tidak bisa ditunda-tunda lagi. Keterdesakan tersebut akhirnya hanya membuahkan perubahan politik secara struktural.
Padahal seturut reformasi birokrasi, reformasi atas pendidikan dan kultural tidak kalah pentingnya. Alasan paling kuat menurut Karlina Supelli (2018) ialah demi melahirkan masyarakat sipil yang akan menuntun dan menjaga cita-cita reformasi. Generasi yang memiliki budaya rasionalitas yang berfondasi kuat pada budaya bangsa. Peralihan era kemudian bergulir tanpa agenda kultural yang jelas.
Sementara itu misi kebudayaan dan misi pendidikan -termasuk pendidikan karakter- memiliki hubungan relasional sejak awal. Karakter yang kuat lahir dari pelembagaan budaya atau intisari warisan masa lampau yang baik, utamanya dalam menciptakan mental maritim. Negara membutuhkan masyarakat yang siap melangsungkan kehidupan berkewargaan yang lebih terarah dan demokratis. Kebudayaan memiliki lapisan yang banyak, dan perilaku masyarakat hanya salah satu komponen tersebut.
Tentu butuh perencanaan dan persiapan. Kita hanya tahu satu-satunya intervensi dan investasi penanaman karakter ialah pendidikan. Caranya melalui pengajaran dan pembiasaan. Pendidikan akan mengalirkan benih karakter baik ke seluruh tubuh bangunan Indonesia. Ibarat menyuntikkan cairan ke pembuluh darah. Agenda pendidikan karakter adalah masukan atau input-annya. Dari situ akan menyebebar, terhubung dan terkoneksi ke semua lini.
Cita-cita ini pernah bergaung ketika reformasi milenium baru saja dimulai. Namun kandas karena persoalan lain mengambil banyak perhatian. Olehnya itu, memperkaya konten kebudayaan dengan kristalisasi nilai budaya rasionalitas (berpikir ilmiah) dan budaya masa lampau dalam pendidikan karakter jadi penting diarusutamakan hari-hari ini. Membangkitkan kembali kehidupan berkebudayaan demi terbentuknya karakter tangguh.
Krisis Budaya Bahari
Bayangkan seorang murid sekolah menengah berpidato ringkas. Oleh gurunya disuruh menerangkan tentang Indonesia di depan murid lain. Kita bisa menebak jawabannya. Ketika menjelaskan, barangkali tidak sudi ia menguraikan kembali era kolonialisasi yang gelap, karena bangsanya sudah lama merdeka. Tidak akan diungkit lagi memori itu. Pikirannya lantas jauh mengingat ke belakang, lalu spontan berujar 'nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut'. Lalu selanjutnya menyinggung dengan gembira, negara yang ia tinggali punya keragaman alam dan budaya yang sambung-menyambung menjadi Indonesia hari ini.
Penelitian Anthony Read (1988) dalam Southeast Asia in the Age of Commerce: 1450 -- 1680 menyebut ketika pertama kali pengelana dari barat menemukan kepulauan Nusantara, kecakapan dunia maritim bangsa ini sejajar dengan yang barat miliki. Muhamad Yamin menyebut dua kedatuan itu "Republik Pertama" dan "Republik Kedua" Indonesia. Sejarawan Bambang Purwanto menegaskan posisi khusus Sriwijaya dalam mendominasi laut sebagai penguasa darat dan laut. Sumber itu disarikan dari sumber sejarah dari Arab beratus tahun lampus yang secara simbolik menjuluki penguasa Sriwijaya sebagai the Lord of the Mountain and the Maharaja of the Isles.