Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mantra Andrea di Sirkus Pohon

1 Oktober 2017   19:58 Diperbarui: 1 Oktober 2017   20:06 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bak penyihir, Andrea menggunakan jampi-jampi di seluruh halaman.Sehabis membayar harga lalu merobek plastiknya, mantra kata-kata penuh bumbu rima Melayu langsungmenyergap.Menyuguhkan kisah yang tidak banyak kita ketahui: Sirkus Keliling.Kaya kata-kata memikat, memukau, menghunjam,berkelok tajam, berima jenaka, bertutur santun, serta beberapa serapah.Sekali lagi, Andrea Hirata. 

"Sirkus itu bak sebatang pohon. Berakar dalam sejarah yang tua, tumbuh menjadi kisah, tumbuh menjadi kisah, menapaskan gembira, cinta, pengorbanan, dan duka lara. Rindang daunnya menaungi seni, ilmu, dan jiwa-jiwa yang berani. Kokoh dahannya merengkuh orang-orang yang terabaikan"

Karya ini memang tentang kehidupan sirkus dan kesederhanaan masyrakat Melayu di Belitong. Tapi, tidak dapat hadir cerita tanpa tokoh. Baiklah, kisah ini tentang dua jalinan cerita antara "Hobri dan Dinda" dan "Tegar dan Tara." Drama cerita kasih dua pasang anak manusia yang menghasilkan semangat juang meluap-luap.

Keduanya kisah ini berlainan namun dengan garis merah yang sama. Alih-alih menawarkan romantisme dan pertemuan-pertemuan yang menderaskan detak jantung, Andrea menyajikan kesabaran, kegigihan, dan rasa penuh tanggung jawab pada setiap karakternya.

Satu, kisah Hobri, pemuda umur jelas 30 tahun pengangguran belum kerja-kerja dan sama sekali belum sebiji pun menemukan dambaan hati. Akhirnya jatuh cinta pada seorang Dinda. Perempuan yang tiba-tiba datang di halaman rumahnya. Selalu kagum memandang pokok pohon Delima miliknya yang menyimpan begantung-gantung buah ranum. Sekali dilihatnya Dinda, muncul keinginannya segera membangun mahligai rumah tangga. Dasar Hobri, bujang Melayu yang tak pandai sedikit mengumbar kata-kata manis! Tak berani pula ia pacaran! Lalu dilamarnya Dinda.

"Seribu alasan tak cukup bagi seorang perempuan untuk menyukai seorang lelaki. Namun satu alasan saja lebih dari cukup bagi seorang lelaki untuk tergila-gila kepada seorang perempuan" kata Hobri.

Sialnya Dinda yang dicintainya tiba-tiba seperti kena tenun, lupa diri sendiri dan dan hilang ingatan. Bukannya hilang dan mencari pasangan lain, Hobri menunggu. Meski yang ditatapnya mengaku tidak mengenal sama sekali. Tapi bagi Hob, pantang laki-laki ingkar janji. Cinta pada Dinda malah tumbuh semakin besar. Setiap sore lepas menumpahkan semua keringatnya sebagai badut sirkus, Hobri datang ke rumah Dinda. Ajaibnya, itu membuatnya selalu bersemangat untuk memulai esok hari.

"Bangun pagi, let's go! Segala hal terbangun. Cecak terbangun, tokek terperanjat, pohon-pohon terbangun, ilalang bangkit, burung-burung bersorak, kumbang-kumbang terbang, ayam-ayam berkokok, bunga-bunga mekar, semua tak ingin ketinggalan, semua ingin berangkat! Semua ingin melihat dunia! Ingin belajar! Ingini bekerja! Ingin berkarya! Hari menjadi megah jika dimulai dengan gembira"

Cinta tidak membuatnya patah semangat.  Kerinduan melihat Dinda sembuh membuatnya berkerja keras dan pantang menyerah. Terbit motto hidupnya, Bangun pagi, let's go! 

Lalu, tentang kisah Tegar yang berusaha menemukan memori lamanya tentang seorang anak perempuan yang pernah dibelanya dari gangguan sekumpulan anak. Disebutnya "layang-layang". Ia menamainya begitu karena ketika mengingat wajah anak itu, Tegar merasa "melayang-layang". Sementara Tara, menamai Tegar "sang pembela" karena dengan berani menyodorkan dirinya melindungi "layang-layang" dari gangguan. Waktu itu, ayah  Tegar dan Tara masing-masing hendak bercerai dengan pasangan masing-masing. Jadilah hidup menghempaskan mereka jadi yatim. Tapi momen itu, membuat Tegar dan Tara selalu memimpikan hal yang sama: bertemu kembali. Menanyakan nama masing-masing.

Hidup membuat mereka harus terus berjalan, bahkan sambil tertatih tatih. Tegar tidak punya agenda lebih penting selain membuat ibunya terbantu di dapur dan adik-adiknya bisa sekolah. Banting tulang tegar memenuhi itu semua. Satu-satunya hal yang membuatnya tenang di tengah kesibukannya memegang peran ayah dan kakak bagi adik-adiknya, cuma "layang-layang".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun