Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Floating School: Berbagi di Tiga Pulau

18 April 2017   13:51 Diperbarui: 18 April 2017   14:12 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
thefloatingschool.wordpress.com

Pagi menunjukkan belum pukul tujuh hari Minggu (8/4) pekan kemarin. Tapi rumah di bilangan Perintis Kemerdekaan ini sudah sibuk sejak tadi. Empat fasilitator dan dua relawan sudah memenuhi ruang tamu. Kehadiran mereka mendesakkan barang-barang yang sudah lebih dulu ada di sana.

Di tengah terletak dua papan tulis kecil ukuran setengah meter, enam buah laptop yang dibiarkan terbungkus rapi, kardus berisi buku penuh buku pelajaran dan buku tulis, satu kardus lagi berisi perlengkapan gambar, kertas, keperluan administrasi dan prakarya. Sesaat lagi mereka bertolak menuju Pelabuhan Laut Maccini Baji di Kabupaten Pangkep. Dari sana perjalanan dilanjutkan via laut selama sekitar 20 menit menuju Pulau Satando, Pangkep.

Namun sebelum berangkat, mereka harus memastikan segala persiapan rampung di dua tempat sekaligus, di Kota Makassar dan di Kabupaten Pangkep. Seorang perempuan bercelana training di antara mereka sibuk sedari tadi. Rahmiana Rahman namanya, disapa kak Ammy oleh beberapa fasilitator dan volunteer The Floating School. Satu-satunya pekerjaan yang harus ia selesaikan sendiri ialah memastikan semua fasilitator dan volunteer yang tersebar di sejumlah tempat siap bergerak menyukseskan kelas minggu itu.

Jemarinya sibuk menyentuh dan menggeser layar ponsel pintar milik. Matanya selalu awas memastikan segalanya beres sebelum beralih ke hal lain. Lewat ponsel biasa, sebagian besar waktunya pagi itu ia gunakan menelepon ke sana ke mari dengan nada antusias. Suara Ammy cukup kencang membangunkan volunteer untuk segera bersiap-siap. 

Termasuk memastikan Daeng Sikki -navigator Kapal Fitra Jaya 03- untuk siap menjemput di dermaga, memastikan segala perlengkapan terbawa, bekal sarapan pagi. Juga memastikan siswa-siswa di Pulau Saugi dan Pulau Sapuli siap dijemput dan diantar ke Pulau Satando. Sambil terbahak ia menyudahi pecakapan terakhir pagi itu dan menutup telepon.

“mari kita berangkat” katanya dengan riang.

Mobil yang kami tumpangi harus singgah tiga kali menjemput volunteer. Meski baru, The Floating School menarik animo pegiat komunitas menengok metode dan inisiatif baru ini tiap minggunya. Normalnya, volunteer dibatasi karena angkutan kapal yang terbatas. Sehingga beberapa volunteer yang mendaftar terpaksa ditolak dan mengantri untuk mengikuti The Floating School berikutnya.

Pekan ini relawan yang beruntung bisa menumpangi “Kapal Fitra Jaya 03” ada Ari dan Teguh. Mereka berdua baru saja ‘turun gunung’ setelah mengadakan Sokola Kaki Langit di Kabupaten Barru, tetangga Pangkep. Dua jam perjalanan darat harus mereka tempuh untuk bergabung bersama yang lain. Kaki celananya masih terlipat ketika mereka berdua kami lihat sampai sampai di dermaga. 

Kendaraan roda dua yang mereka tumpangi dari Barru langsung ke sini masih membekas di kendaraan roda dua automatic. Tanpa merasa lelah, ia menghambur lagi mengikuti The Floating School. Ada juga Tiny dari Komunitas Penyala Makassar yang sedang merampungkan Pustaka Ceria dan agenda bantu-bantu Kelas Inspirasi Konawe.

Pagi itu, kami belum berangkat karena masih menunggu Rahmat HM Mato, salah satu inisiator juga. Saat itu, pukul 09.20 ia baru sampai di tepi dermaga. “baruka pulang ini dari urus kursus mingguannya PEC (Pangkep English Club). Itu dulu kukasi’ selesai, baru ke sini” katanya minta maaf tapi sumringah bisa berkumpul lagi dengan volunteer dan fasilitator. Selama perjalanan, Daeng Sikki tampak santai di ruang kemudi. Hari ini laut cukup tenang.

Mengapa harus Floating School?

Sekolah ini adalah inisiasi Ammy bertiga bersama Nunu Al Marwah Asrul dan Rahmat HM Mato. Proposal sekolah ini lalu diajukan untuk memperebutkan grant “YSEALI Seads for The Future”. Sebanyak 400-an proposal yang masuk dari seluruh negara, hanya tiga dari Indonesia yang berhasil diterima, salah satunya The Floating School. Alasan terpilihnya The Floating School untuk didanai karena program ini memiliki rencana keberlanjutan bagi masyarakat di tiga pulau yang terkena dampak.

“Pada mulanya, mereka berkunjung ke pulau-pulau tersebut untuk mengetahui keadaan masyarakat setempat dan menggali kebutuhan mereka” kata Ammy yang merupakan alumnus Jurusan Bahasa Inggris UNM 2006 ini menjelaskan. Ammy dan kawan-kawan lalu mencari data untuk memulai program ini. Mereka lalu mencari data lewat sajian angka-angka BPS tahun 2010. Bermula dari data besar lalu mengerucut ke data kecil hingga muncullah keputusan membuat sekolah ini.

Akhirnya mereka menemukan sekolah-sekolah yang masih sulit secara akses dan ekonomi itu berada di Jeneponto dan Pangkep. Kenapa memilih Pangkep? Selain karena kedekatan Rahmat HM Mato yang mengenal dekat Pangkep, mereka juga berpikir bahwa Pangkep butuh untuk dibantu dari segi pendidikan.

Ammy mengatakan, di Pangkep ada 117 pulau kecil dan 87 pulaunya berpenghuni. Ini berarti 75 persen infrastruktur sekolah –ini jika semua pulau didirikan sebuah sekolah- butuh bantuan karena terisolir dari darat. Baik dari segi sumber daya manusia maupun sarana-sarana penunjang pembelajaran lain. Belum lagi dengan Pulau yang berbatasan dengan Bali, sekitar 10 jam menembus laut sulawesi ke selatan. Alasan-alasan itu yang menggerakkan mereka memilih Pangkep.

Lalu kenapa harus tiga pulau yang berdekatan Pulau Saugi, Sapuli, dan Satando? Mereka menginginkan memulai dampak dari cakupan wilayah yang terdekat. Ketiga warga pulau ini masih berkerabat dekat satu sama lain. ‘Tiga Pulau Satu Kampung’ julukan ini diberikan karena ketiga pulau masih merupakan wilayah kampung yang sama, Desa Mattiro Baji.

Mereka tetap yakin untuk bisa melakukan keduanya, sehingga pendidikan yang ditampilkan masih fokus dan sejalan dengan tujuan pertama. Akhirnya, mereka membuat sekolah yangmenggabungkan pendidikan dan economic value. Pendidikan memang jembatan untuk meraih dan memperbesar kemungkinan-kemungkinan masa depan yang lebih baik, termasuk ekonomi. Tidak terkecuali anak-anak ini.

Perkembangan yang dibanggakan

Inisiasi ini masih baru. Meski begitu, ada sejumlah hal yang terjadi di luar ekspektasi. Itu membuat Ammy senang sekaligus bangga. Pertama, ia menargetkan hanya bisa merekrut 50 siswa. Kemudian mereka akan belajar selama tiap pekan saban minggu selama enam bulan hingga Agustus mendatang.

Setelah running, ternyata 90 anak berusia 13 – 20 tahun yang memiliki niat besar menjadi siswa. “Jumlah ini memberikan gambaran tingginya minat mengikuti The Floating School. Setidaknya niatan anak-anak  mereka memberi gambaran tingginya minat mereka mengikuti The Floating School.” Kata Ammy senang.

Selain itu, hal yang tidak mereka duga ialah animo fasilitator yang berhasil mereka rekrut sejauh ini. “saya sangat bersyukur memiliki fasilitator yang amazing.”  Rentang waktu dua bulan, Ammy berbangga para pengajar dengan skill yang baik ikut turun tangan mengabdi di pulau kecil ini. Sebab selain keterampilan mereka memiliki semangat mengajar tinggi dan fleksibilitas dalam hal menyampaikan pembelajaran ke anak-anak.

Ammy sangat senang dengan karakter dan perubahan mereka sepanjang ini. Perekrutan fasilatator tidak hanya mencakup aspek kompetensi, tapi juga kemauan bekerja selama setengah tahun tanpa jeda dengan fleksibilitas tinggi. Ia mengutarakan kesenangannya karena dengan ide besar yang mereka miliki mudah diterima fasilitator waktu itu. “Tidak sulit mentransfer isi kepala kami ke dalam benak-benak mereka.”

Ia dan timnya sadar tengah melakukan semacam intervensi sosial di tengah-tengah masyarakat. Mereka ketemu lingkungan baru yang harus dikelola dengan serius. Apalagi ini menyangkut dua aspek penting, pendidikan dan ekonomi. Satando, Saugi, dan Sapuli adalah tempat asing bagi mereka sebelum ini, lingkungan yang baru. Kekhawatiran untuk diterima juga ada sebelum mereka masuk. Tapi semuanya tertepis.

Sambutan masyarakat lokal yang mereka terima luar biasa. Sebaliknya The Floating School justru diterima dengan tangan terbuka. Justru, beberapa ide kelas-kelas itu berdasarkan ide dari warga. Seperti kelas prakarya, misalnya. Observasi sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Meski baru memasuki pekan kelima pembelajaran, sudah sejak 28 November mereka telah mengeksekusi segala persiapannya. Mulai pencarian funding hingga observasi ke tiga pulau.

Ammy tersenyum lebar dan membelalakkan mata, ia mengaku jika ini adalah sekolah apung pertama di Indonesia. Mereka menyewa Kapal Fitra Jaya 03 untuk membawa pangajar, buku-buku, dan relawan untuk mengajar di tiga pulau berbeda. Walau begitu, demi mengefektifkan mobilisasi, pekan-pekan terakhir ini semua kelas dipusatkan di satu pulau saja, Pulau Satando.

Aktivisme Sosial Mengubah Masyarakat?

Mereka belum bisa menjawab sejauh itu. Tapi ilustrasinya, Ammy melihat sedikit demi sedikit ada perilaku yang menurut mereka positif. Misalnya, tanpa kendala berarti langsung diterima oleh masyarakat. Bisa saja mereka dicegat, tidak diperbolehkan mengangkut anak-anak belajar dari Pulau Saugi dan Sapuli lalu memulangkannya kembali setelah belajar. Mereka berani dan percaya dengan The Floating School sejak awal kedatangannya.

Hal kedua adalah, kepercayaan diri masyarakat, khususnya anak-anak memang meningkat. Pekan pertama mereka masih malu-malu menyanyi. “Hanya di awal saja mereka  masih malu-malu, sekarang di suruh menyanyi pun mereka sudah pede.” kata Ammy.

Jamal misalnya, di kelas fotografi ia dari awal sudah menunjukkan bakat alami. Tiga pekan lalu ia dipinjami kamera saku oleh faslitator. Ia berkeliling kampung dan berhasil mengambil sekira 10 gambar. Kesemuanya punya cerita yang menarik dan sudut pandangnya juga tidak biasa bagi ia yang baru saja memegang kamera. “senang sekali melihat ada anak yang seperti itu di Floating School” terang Nunu Al Marwah Asrul, rekan Ammy yang juga bersama-sama mendirikan The Floating School.

Faslitator kelas menyanyi dan musik dan kelas menulis adalah orang Pangkep asli, dan berdiam di kota Pangkep. Hasilnya, anak-anak merasa punya proksimitas dan percaya diri yang besar untuk berkreasi di depan para pengajar.

Di Kelas menulis contohnya, sepanjang yang saya amati, Idrus dan Wani mampu menunjukkan aspek bahasa yang baik. Pada satu sesi oleh fasilitator mereka berdua diajak menghabiskan waktu di luar kelas mengamati kehidupan kampung. Tiga puluh menit kemudian, secara tiba-tiba mereka bisa merangkai larik-larik puisi tentang Pulau Satando dan kehidupan mereka sebagai anak-anak laut.

“Kami percaya kami bisa membuat anak-anak ini memamerkan sesuatu. Apa yang berharga dari kampung-kampung mereka.” Di akhir bulan ke-enam, kami akan melakukan pameran karya dan kreasi di Pulau Cambang-Cambang. Pulau ini merupakan pusat wisata di daerah Pangkajene Kepulauan. Ammy membayangkan misi The Floating School akan jauh melampaui apa yang telah mereka raih dua bulan ini.

Kepercayaan ini rencananya akan dibayar lunas dengan baik oleh tim The Floating School. Mereka sudah menyiapkan satu pegelaran. Kelas Musik akan memamerkan kelihaiannya dan membuat video rekaman, Kelas Foto akan mengadakan pameran foto, Kelas Menulis akan menyajikan sebuah peluncuran buku karya anak-anak, dan banyak lagi.

Kehadiran anak-anak juga berada lebih dari 90 persen. Fakta ini yang membuat Ammy dan tim begitu gembira. Meski tadi anak-anak ada yang minta izin tidak masuk karena besok murid yang kelas 3 SMA akan mengikuti UNBK.

Pada intinya, Ammy percaya pada proses. Hasil akhir hanyalah manis-manis yang masih tersisa. Buahnya sudah kita peroleh lewat usaha proses membelajarkan anak-anak itu sendiri. Bertumbuh bersama anak-anak, masyarakat dan semua relawan merupakan hal yang sangat layak mereka jalani seiring bersama.

Sejauh mana upaya ini akan berhasil?

“kekuatan sebenarnya ada pada masyarakat dan local leader yang bersinergi positif dengan The Floating School.” Olehnya itu Ammy yang juga English Teacher di Bosowa International School ini selalu menitipkan pesan pada fasilitator untuk bertindak sebagai penggali sekaligus pembimbing yang baik. Bukan sebagai guru yang datang mengajar, dan bukan pula sebagai guru yang serba tahu.

Tidak usah jauh-jauh, mereka merasa begitu terbantu dengan Bu Ramlah. Dengan pintu dapur yang selalu terbuka, ia memasak tiap pekan tanpa pernah sekalipun absen. Nyaris ia merelakan 15 orang tim fasil dan relawan menghabiskan jatah makan siang di rumahnya yang hanya berjarak sepelemparan batu dari sekolah. Saya melihat ia juga mengambil bagian sibuk-sibuk mondar-mandir ketika tim sudah merapat ke dermaga.

Ada sosok Pak Amri, Kepala Dusun Sapuli dan Pak Arman guru di pulau yang sama. Dua orang ini getol mendukung kegiatan rutin belajar mingguan The Floating School. Juga Ibu Bur, Kepala Sekolah SD Saugi, penyedia makan siang jika tim berada di Dusun Saugi, Pulau Saugi.

Sehingga, boleh dikata tiga pulau ini bersekongkol positif pada Ammy dan kawan-kawan. Tapi, permufatakan baik ketiga pulau yang masih satu desa ini tentu saja masih bisa dikembangkan lebih jauh. Ruang-ruang interaksi harus dibuka lebar untuk memancing masyarakat semakin terbuka dan mengembangkan inisiasi bentuk pendidikan alternatif di kampung mereka sendiri.

Pada akhirnya, seperti yang dikatakan Ammy, “kami ingin membuat sekolah ini tidak hanya nampak, tapi bisa berdampak.” Bila masyarakat yang sudah urun rembug langsung, besar sekali kemungkinan gerakan ini bisa berdampak bahkan untuk waktu yang lama.

Sampai kapan The Floating School?

Sepanjang hari itu saya merasa tidak tega mengganggu kesibukannya demi ngobrol sebentar. Bolak-balik ia mengatur ruangan tiga ruangan kelas SMP-SMA Satap (Sekolah Satu Atap) segera setelah tiba di Pulau Satando. Setelah itu ia juga langsung mengurusi bahan bakar genset kelas komputer dan musik. Memastikan anak-anak di delapan jenis kelas hadir, menjamin keperluan para pengajar (fasilitator) dan anak-anak tersedia, termasuk mengecek kesiapan makan siang, dan banyak lagi.

Tubuhnya lincah bergerak ke sana ke mari tidak bisa diam sekalipun. Sebentar saja, ia sudah menghilang ke mana mengamati delapan kelas hari itu berjalan dengan lancar. Saya tidak heran ia bisa seaktif itu di lapangan. Beberapa tahun sebelumnya, ia merupakan tokoh di balik berdirinya SiGi (Sahabat Indonesia Berbagi) Chapter Makassar, mengarsiteki SoulMaks Magazine, aktif sebagai pembicara tentang peran perempuan.

Di tengah rasa lelahnya dalam perjalanan darat pulang dari Pangkep, ia masih semangat menjawab sejumlah pertanyaan saya.“kami sementara cari funding agar tidak hanya anak di tiga pulau ini yang ikut, tapi beberapa pulau lagi yang berada di sekitarnya. Semoga bisa beli boat baru untuk calon Sekolah Kreatif nantinya” kata Ammy tersenyum menatap refleksi masa depan di hadapannya.

Matahari sore itu sudah harus tenggelam. Para fasilitator pulang berpisah jalan masing-masing. Ammy masih harus mengurusi siswanya yang tinggal asrama di bilangan protokol dekat Pantai Losari. Pekerjaan ini masih belum terhenti. Masih ada sekitar empat bulan lagi. Itu berati masih enam belas pekan lagi sebelum The Floating School tersisa. Bagi Ammy, terus bekerja adalah pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Gambar: dokumentasi The Floating School.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun