Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melirik Potensi Penggunaan dan Manfaat Uang Elektronik di Indonesia

22 November 2016   13:20 Diperbarui: 22 November 2016   13:36 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: www.business-standard.com

Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatanselama delapan tahun terakhir berada di atas rata-rata perolehan nasional, kami(selalu) siap untuk e-commerce (Agus Arifin Nu’mang, Wabug Sulsel)

Kemunculan uang elektronik sebagai ‘currency’ di dunia e-commerce kira-kira dimulai sejak 20 tahun silam. Eropa, khususnya Eropa bagian Balkan memulai penerapan alat pembayaran ini sejak 1998 hingga sekarang.

Dugaan awalnya bakal berdampak global pada perekenomian dan sistem pembayaran international. Tapi ternyata tidak seperti harapan. Jalannya begitu lambat sejak awal meski terus bergerak sampai saat ini.

Sejumlah negara bahkan masih berada dalam tahap apakah akan menerima ide electronic banking, dan ada juga yang sedang dalam fase pengaturan regulasi terkait e-money. Terus terang, ada kompetisi dan oposisi yang kuat dari penggunaan kartu kredit dan debit.

Dua alasan paling berdampak pada lambatnya implementasi e-commerce dan e-money di negara-negara Balkan. Pertama-tama adalah tingkat ekonomi, dan kedua adalah perkembangan teknologi.  

Sebenarnya hampir semua negara-negara di wilayah tersebut mengintrodusir aturan E-Money Directive hingga pertengahan 2011. Hasilnya? Pengalaman setiap negara berbeda. Tiap-tiap negara mencari cara paling cocok untuk menerapkan aturan penggunaan uang elektronik pada legal formil sistem keuangan masing-masing.

Beberapa negara membuat hukum baru tentang e-money, sebahagian lagi mengintegrasikan aturane-money ke dalam aturan sistem pembayaran resmi mereka, seperti Ceko, Slovenia, dan Bulgaria). Sementara Yunani merancang legislasi yang baru pada hukum perbankan mereka.

Sumber dari ECB (Payment Statistics, 2013) merilis bahwa transaksi total transaksi e-money paling tinggi mencatatkan kisaran 50 trilyun Euro di tahun 2012 dengan jumlah institusi uang elektronik sebanyak lebih dari 55 lembaga.

Nah, sebaliknya, banyak bukti statistik yang positif tentang penggunaan uang elektronik terlihat nyata di negara-negara berkembang. Jelas saja ini dapat dimengerti karena dua variabel. Pertama, tingkat ekonomi mereka yang tinggi. Kedua, tingkat pengetahuan, kemampuan, dan kecepatan dari ngera-negara maju mereka untuk menyerap semua inovasi-inovasi dalam berbagai bidang.

Lalu,kita semua bertanya-tanya,bagaimana dengan Indonesia?

Pada 14 Agustus 2012, Bank Indonesia mencanangkan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) untuk memulai penerapan e-commerce secara massif melalui penggunaan uang elektronik. Tujuannya jelas, peningkatan percepatan ekonomi di Indonesia.

Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) ini bukan didasari pada euforia negara-negara maju. Menurut Pongki Wijaya dari Bank Indonesia, e-commerce diharapkan dapat menjaga dan  meningkatkan kelancaran sistem pembayaran di Indonesia. Atau, menurut istilah beliau sendiri; elektronifikasi; kebijakan mengubah banyak hal dari tunai menjadi non-tunai?

Pada praktiknya, ada tiga aspek yang benar-benar diperhatikan dan menjadi marwah dalam penggunaan uang non-tunai. Satu, meningkatkan akses keuangan yang lebih luas karena dapat menjangkau apa saja dan di mana saja. Dua, lebih nyaman karena setiap orang memiliki askes yang mudah dalam bertransaksi apapun. Ketiga, uang elektronik tergintegrasi dengan sistem-sistem finansial yang telah sebelumnya ada.

Sekedar gambaran, setiap pemakaian 10% layanan non-tunai, ada peningkatan pembelanjaan dan daya dorong belanja sebesar 5%. Ini menunjukkan ada hubungan linear yang kuat antara e-commerce dan tingkat pencapaian ekonomi.

Dalam talkshow ‘Scale Up dengan E-Commerce’ yang diselenggarakan Bank Indonesia dengan narasumber yang terdiri dari Bank Indonesia, BRI, Mandiri, BNI, dan Kaskus, mereka mengamini bahwa semakin banyak transaksi non-tunai maka semakin tinggi pula PDB (Pendapatan Domestik Bruto) suatu negara.

Tambah lagi, berdasarkan hitung-hitungan narasumber, setiap e-commerce yang bernilai 130 miliar USD, akan berkontribusi pada PDB sebesar 14% khusus di Indonesia,

Alasannya? Karena pihak-pihak perbankan dan pengelolan otoritas sistem keuangan dapat menyalurkan uang tunai kembali ke masyarakat dalam jumlah yang lebih besar untuk pemanfaatan yang sebesar-besarnya.

Uang yang masuk, bisa masuk langsung ke sistem pembayaran resmi atau tunai ke dalam tubuh perbankan. Jadinya? Modal perbankan akan lebih banyak. Dampaknya adalah pada stabilitas sistem pembayaran, yang pada akhirnya, poin ini akan memicu stabilitas sistem keuangan.

Lincahnya Peran Teknologi

‘Teknologi will drive the economy’

Dari data yang ada, penduduk Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 257 juta jiwa, setengahnya, 150 juta jiwa adalah pengguna gawai elektronik.

Belum lagi, jumlah gawai yang kisarannya 314 juta perangkat elektronik yang terhubung dengan internet. Kalau dibayangkan, ya, SATU ORANG MEMILIKI DUA HINGGA TIGA PONSEL PINTAR.

Disinilah hubungan tersebut tercipta. Antara, GNNT dan E-commerce, akan menghasilkan apa? Velocity of money. Kecepatan uang non-tunai yang beredar jauh melebihi transaksi tunai. Teknologi bermain secara cerdas dan penting pada tahap ini. 

Sebaliknya, jika tidak ada perangkat teknologi yang memungkinkan, dan kesadaran yang timbul perlahan, maka gerakan ini juga tidak akan jalan sebagaimana yang dicita-citakan.   

Mengapa mesti Non-Tunai?

Oke, faktanya adalah 30 – 40% penjualan online di Indonesia masih menggunakan sistem CoD (Cash on Delivery).

Agak sulit untuk merubah ini secara drastis, sebab banyak hal sudah menjadi kebiasaan dan sudah menjadi kenyamanan tersendiri bagi para para konsumen untuk memastikan suatu barang entah kuantitas atau kualitasnya secara langsung. Rasa aman adalah yang utama dan pertama dalam melakukan pembelanjaan secara online.

Padahal lebih mudah ketika itu dilakukan tanpa tunai, termasuk juga pembukuan yang begitu ringkas dan sederhana bagi para pelaku bisnin e-commerce.

Sekali lagi, peran Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam menjaga sekuritas dalam GNNT menjadi sangat krusial. Bank Indonesia bertugas dalam menyiapkan kerangka sistem keamanan, dimana semua pihak harus mengikuti ketetapan bank sentral.

Bank Indonesia dan pihak perbankan lainnya sedang menyiapkan dan melengkapi seluruh sistem pembayaran untuk sarana e-commerce. Outputnya barangkali, akan tumbuh semangat memainkan dan menjalankan GNNT dalam masyarakat.

Jika ini tumbuh subur di Indonesia, ini akan berujung pada terciptanya sebuah market environment yang memungkinkan semua pihak berinovasi dan terjaminnya seluruh kehidupan transaksi di Indonesia.

Nah, berdasarkan paparan di atas dan analisis mengenai kebijakan e-money, maka dampak penggunaan alat tukar elektronik yang diharapan dapat terwujud dalam pola-pola kebijakan keuangan, termasuk di Indonesia ialah:

  • Menurunnya tingkat penguasaan bank sentral terhadap pemenuhan, persediaan, hingga peredaran uang tunai.
  • Meningkatkan kecepatan perputaran uang (velocity of money)
  • Menurunkan kebutuhan dan anggaran pencetakan uang, dan sebaliknya meningkatkan jumlah pendapatan bank sentral.
  • Dengan karakteristik yang mudah digunakan, hal ini meningkatkan jumlah partisipasi penggunaan uang elektronik antar negara.
  • Menurunkan dampak pengali (multiplier) yang terdapat dalam harga saham dan mata uang.  

Sejatinya, pertumbuhan perdagangan elektronik adalah bergantung pada efektif atau tidaknya sistem pembayaran elektronik yang diciptakan. Sebab, sementara pembayaran dalam jumlah besar dapat dengan mudah menggunakan kartu kredit/debit, e-commerce skala kecil kadang terhambat pada keterbatasan sistem pembayaran mikro.

E-money sebagai sistem yang cerdas, dapat diandalkan sebagai bentuk mata uang/sistem pertukaran yang penting di masa mendatang. Perkembangan yang sedang berlangsung ini digadang-gadang akan memengaruhi secara kuat dan positif efektivitas dan implementasi kebijakan-kebijakan keuangan.

Terakhir, yang harus diingat adalah, meski Indonesia memiliki kans yang kuat dalam percepatan ekonomi melalui e-money dan e-commerce, bahwa segala inovasi memerlukan waktu sebelum diterima dan diserap oleh pasar.

Katanya, di masa-masa mendatang, bank-bank sentral dan para ekspertise WAJIB mengikuti perkembangan ekonomi secara cermat mengenai e-money, dengan lebih dekat dan hati-hati. 

***Sumber bacaan***

  • Neda Popovska-Kamnar. 2014. JCEBI Vol.1 No.2 pp. 79-92. The Use of Electronic Money and Its Impact on Monetary Policy. Republic of Macedonia.
  • Mohamad Al-Laham et.al. 2009. Issues in Informing Science and Information Technology Volume 6. Development of Electronic Money and Its Impact on The Central Bank Role and Monetary Policy. Jordan.
  • Michelle Baddeley. 2004. Journal of Electronic Commerce Research Vol.5 No.4. Using E-Cash In The New Economy: An Economic Analysis of Micropayment Systems. Cambridge: UK.
  • Disadur dari pemaparan presentasi Bank Indonesia Goes to Campus. “Tentang Uang Elektronik” Universitas Negeri Makassar. 15 November 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun