***
Di sinilah bermula pencarian kebahagiaan ala Marseult yang keras kepala, setelah menghilangkan nyawa calon temannya itu.
Setelah sukses membuat kematian Zagreus seolah bunuh diri, ia menanggalkan pertaliannya dengan Marthe. Lalu mulai melarikan diri lewat trem ke trem mengunjungi beberapa tempat di Eropa Tengah.
“Aku harus meraih hidupku. Pekerjaanku delapan jam yang harus kubuang dalam sehari, menghalangiku untuk meraih hidupku” dalam sebuah komentar tangkasnya untuk Zagreus.
Praha dan Swiss adalah dua kota yang terakhir ia kunjungi sebelum ia menjadi begitu sangat bosan. Ia begitu merindukan kebahagiaan yang berjalin dengan hubungan antar sesama manusia, yang intim, yang dekat, katakanlah seperti keluarga.
Sebenarnya, begitu ia pergi, ia telah mengacaukan identitasnya, menghancurkan keterikatan akan identitas dan rasa pulang ke kampung halaman.
Setelah beberapa waktu pergi dan menjalin hubungan yang akrab dengan hanya segelintir orang, ia mulai diterkam bosan, alih-alih merindukan sebuah suasana baru atau kerinduan atau hubungan(?). Menikmati hari-harinya yang tidak punya tendensi menyelesaikan apapun kecuali masalah yang terjadi pada saat itu. Menikmati tubuhnya yang bergembira pada laut, laut, dan laut, di daerah pedesaan.
“Sibuk apa kalian? Ceritakan tentang diri kalian dan tentang sinar matahari, kepada pria yang tank punya kampung halaman ini” tulisnya pada teman bersuratnya di Aljir.
Maka dengan itu, ia memutuskan kembali ke Aljir. Menemui anak-anak angkatnya Rose dan Claire. Anak-anak muda yang begitu bergairah dalam hidup. Menyusul Catherine yang belakangan tinggal di rumah mereka. Mereka tinggal harmonis dengan perbincangan yang dialogis yang selalu terjadi.
Menariknya, Mersault tertarik berdialektik dengan anak angkatnya yang satu ini, Catherine.
Ada pertanyaan kejutan Catherine pada Mersault, “apakah kau bahagia?”