“Pa’guru, tadi kitorang senang-senang, bermain, dan menggambar peta yang bagus.” kata Tangkia.
“Pa’guru, tadi kitorang gambar peta, kitorang sama-sama musyawarah, baru (kemudian) gambar.” sambung Nahum.
“Tadi kitong gambar peta, bagus, saya pu hati sangat senang.” tutur Elsina dengan senyumnya yang mengembang sempurna.
“Pa’guru, awalnya sa pikir susah, ternyata membuat peta itu gampang. Kitong biking-biking, sebentar saja, eh su jadi.” kata Sipora dengan tangkas.
“Kitong gambar tadi bagus, macam (seperti) pelangi-pelangi.” kata Nova mengakhiri.
“Betul nak, pelangi itu indah kalau bermacam warna. Coba kalau satu warna saja. Dia tidak akan kelihatan indah di langit sana. Sama dengan peta Indonesia yang kamorang baru selesai gambar, bagus kalau warnanya beda-beda. Di Fakfak, bukan cuma Kristen saja toh?”
“Iya pa’guru, ada Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Konghucu” balas anak-anak hampir serempak.
Seperti Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merauke, begitu pula warna-warni pelangi pada peta yang anak-anak bikin. Betapun beragam warnanya, pada akhirnya, hanya akan tetap jadi satu dan satu saja peta: namanya peta Indonesia. Ramai-ramai, kami membentangkan peta Indonesia itu. Dan, tak lupa kami mengabadikan momen yang berharga ini.
Eh, apa saya udah bilang, “kalau udah jadi peta buatan anak-anak ini hasilnya keren banget?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H