Mohon tunggu...
Mujahidil Anshari
Mujahidil Anshari Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Problematika Penyebutan Non-Muslim dan Kafir di Indonesia

6 Maret 2019   17:03 Diperbarui: 2 April 2019   00:21 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Ponpes Miftahul Huda Al Banjar, Jawa Barat resmi ditutup, salah satu rekomendasi rapat pleno munas ulama yakni tidak menyebut kafir kepada nonmuslim. Ini menjadi polemik perdebatan antara para cendikiawan Muslim Pro-Kontra hasil keputusan munas alim ulama dan konferensi besar NU yang dilaksanakan kemaren, ada yang beranggapan bahwa ulama sekarang terkontaminasi virus liberalisme sehingga mengademenkan al-Qur'an, terlalu memihak kepada kaum kafir yang sudah jelas-jelas musuh Islam yang nyata. Dan masih banyak lagi argumen-argumen miring tentang keputusan konferensi kemaren.

Pada umumnya muslim terbagi ajaran atau aspek Islam kepada tiga kelompok, yaitu: Akidah, Syari'ah, dan Akhlak.

Akidah adalah aspek Islam yang mengatur hal-hal yang menyangkut tata kepercayaan dalam Islam. Syari'ah adalah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Ibadah dan mu'amalat. Ibadah adalah aspek Islam yang mengatur tata cara manusia berhubungan dengan Tuhan; sedangkan Mu'amalat mengatur bagaimana manusia berhubungan dan saling berinteraksi dengan sesamanya dan dengan sesama makhluk lainnya.

Aspek yang ketiga, yaitu Akhlak, mengatur segala hal-hal yang menyangkut tata perilaku manusia, yang baik dan buruk, baik yang menyangkut dirinya sendiri, dengan orang lain, dengan makhluk lainnya, dan dengan Tuhannya.

Keimanan adalah pondasi paling kokoh dan paling penting sekali di setiap agama.

Bukan hanya Islam, tetapi semua agama menjadikan iman sebagai aspek terpenting

dari ajarannya. Bila sistem iman rusak, maka runtuhlah bangunan agama secara

keseluruhan. Karena kufr merupakan antitesis dari iman, sedangkan iman adalah aspek Islam yang paling mendasar, maka Kufr yang banyak dibicarakan dalam al-Qur'an sangat penting untuk dikaji dan di teliti.

Dari segi bahasa, Kufr mengandung arti: menutupi. Malam disebut "kafir" karena ia menutupi matahari. Demikian pula petani yang terkadang disebut "kafir" karena ia menutupi benih dengan tanah. Secara istilahi (terminologi Islam), para ulama' tidak sepakat dalam menetapkan batasan kufr sebagaimana mereka berbeda berpendapat dalam membuat batasan iman. Kalau iman diartikan dengan "pembenaran" terhadap Rasulullah SAW berikut ajaran-ajaran yang dibawanya, maka kufr diartikan dengan "pendustaan" terhadap Rasulullah yang dibawanya.

Secara naluriah, setiap orang beragama sangat tidak senang dengan julukan "kafir". Bahkan tidak jarang di antara mereka yang bersedia mempertaruhkan jiwanya untuk membela diri dari tuduhan kafir. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kufr adalah masalah teramat peka bagi manusia, baik selaku individu maupun sekala kelompok. Akan tetapi, justru karena kepekaannya itulah, masalah kufr tetap aktual dibicarakan, utamanya di kalangan pemikir Islam.

Orang kafir adalah orang yang, karena berbagai alasan (vested interest / kepentingan diri), menyangkal atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya.

Di dalam al-Qur'an, kekafiran identik dengan tindakan penyangkalan secara sadar, tanpa pengaruh tekanan dari luar. Iblis dan Fir'aun, misalnya, disebut kafir karena adanya penolakan dan penyangkalan terhadap kebenaran yang telah diyakini oleh keduanya (aba wa-stakbara). Ini didukung juga oleh kenyataan bahwa al-Qur'an menggambarkan betapa kaum kafir Quraisy jika ditanya siapakah pencipta semesta, nisacaya mereka akan menjawab, "Allah".

Artinya, penyamatan atribut kafir kepada mereka bukan karena mereka tak yakin atas ketuhanan Allah. Lihat (QS. al-Zumar [39]:38). Demikian pula dengan keyakinan mereka terhadap kerasulan Muhammad SAW. (QS. al-Baqarah [2]:88). Fakta bahwa orang-orang kafir sesungguhnya sudah percaya pada kenabian Muhammad SAW. dikuatkan antara lain oleh sebuah riwayat yang dilaporkan oleh Ibn Hisyam (w. 213 H) dalam sirah-nya, di bawah subbab Alladzina istama'u ila qira'ah al-Nabi saw. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Akhnaf ibn Syuraiq, ketiga-tiganya secara bersamaan dan tanpa sepengetahuan satu sama lain menyelinap dan mengendap-endap di sekitar rumah Nabi Muhammad, demi menyimak bacaan al-Qur'an oleh beliau.

Mereka terkesima, dan di lubuk hati terdalam mereka tak dapat menyangkal kebenaran firman yang dibacakan oleh Muhammad itu. Namun bukan karena hati kecil mereka menolak al-Qur'an, tetapi lebih karena vested interest (kepentingan diri) demi mempertahankan posisi sosial dan politik mereka. Mereka disebut kafir karena mereka sesungguhnya telah mengakui kebenaran Islam, namun menolaknya karena alasan-alasan ekonomi, sosial, dan politik. Penolakan dan penyangkalan atas ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sesungguhnya didorong oleh motif mempertahankan pengaruh dan kelas sosial. Artinya, faktor ekonomi dan politik-dan bukan keyakinan teologis-yang menjadi alasan dibalik penyangkalan terhadap Islam. Mereka tetap bertahan dengan agama Arab Jahiliyah bukan karena percaya dan mengimaninya sebagai sebuah kebenaran, namun lebih karena sistem purba itu menguntungkannya secara politik dan sosial.

Maka, kesimpulan sementara: jika seseorang tidak menerima Islam karena katidaktahuan, atau karena argumen-argumen tentang Islam yang sampai kepadanya tidak meyakinkankannya, orang-orang seperti ini tak serta merta disebut kafir. Imam Ja'far Shadiq berkata : "Sekelompok orang tidaklah kafir bila mereka tidak tahu (jahil), diam, dan tidak menentang." Imam Ghazali juga mengutarakan pandangan serupa. Menurutnya, orang-orang non-Muslim yang tidak sampai kepadanya dakwah tidak dapat disebut kafir. Kategori ini dipahami sebagai orang-orang yang tidak pernah mendengar Islam, atau Islam tak sampai kepada mereka dalam bentuk yang membuat mereka yakin.

Demikian pula pandangan Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar , dia secara khusus menekankan bahwa orang (kafir) yang amalnya sia-sia hanyalah "Mereka yang telah sampai dakwah Nabi Muhammad secara meyakinkan, tapi tetap keras kepala tak mau menerimanya".

Dia pun dengan jelas menyatakan bahwa banyak non-Muslim di zamannya sesungguhnya tak pernah benar-benar mengetahui mengenai Islam dengan pengetahuan yang benar dan dapat meyakinkan mereka. Bahkan, Ibn Taimiyah dalam Majmu' Fatawa-nya berpendapat, seseorang tidak dapat dikafirkan sampai tegak kepadanya hujjah (argumentasi yang meyakinkan).

Berdasarkan argumentasi di atas, maka non-Muslim yang tulus dalam memilih dan

meyakini keyakinannya tidak serta-merta dapat disebut kafir, yakni menutupi  keyakinannya akan kebenaran.

Menurut NU istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan (Muwatthin) pada suatu negara dan bangsa, maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum sehingga yang ada adalah nonmuslim bukan kafir. Sebagai dasar negara, Pancasila berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya.

Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara, yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis, bahkan agama. Hal ini selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah. Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa/umat, yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya, tanpa diskriminasi.

Sebagai bangsa yang besar dan berbagai keberagaman dan perbedaan yang ada maka sepatutnya kita sebagai warga negara jangan sampai ada pendeskriminasian antar umat beragama khususnya, kita harus bahu-membahu dalam mewujudkan bangsa yang damai, bangsa yang aman tentunya.

Di dalam al-Qur'an sendiri sudah mengakui bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berasal dari satu jenis (QS.An-Nisa:1), kemudian berkembang biak melalui hubungan perkawinan, membentuk keluarga kecil yang kemudian meningkat menjadi keluarga besar (QS.al-Furqan:54), lalu berkembang terus dalam bentuk suku, ras, dan bangsa (QS.al-Hujurat:13) dan menjalin interaksi sosial dalam berbagai bidang kehidupan (QS.al-Zukhruf:32). Jalinan interaksi ini tidak saja dapat dibina antara sesama orang-orang Islam, tetapi juga dapat, bahkan harus, menjebol dinding-dinding dan sekat-sekat keluarga, kelas, suku, rasial, bangsa, dan agama sekalipun.

Dengan kata lain , al-Qur'an sama sekali, tidak menghalangi umat Islam untuk membina hubungan sosial dengan orang non-muslim, termasuk orang-orang kafir. Yang penting, hubungan sosial itu tidak menyebabkan terganggunya, apalagi terancamnya, kehidupan agama si Muslim, ataupun kehidupan Islam secara keseluruhan.

Dengan demikian, perbedaan agama dan keyakinan tidak dapat dijadikan dalih oleh orang seorang Muslim untuk menjauhi atau memusuhi orang lain. Berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang bukan Muslim, atas dasar kemanusiaan adalah perilaku etis yang sangat Islami. QS. Luqman: 14-15, justru memerintahkan manusia agar senantiasa tunduk dan patuh kepada kedua orang tua, meskipun keduanya musyrik. Setiap perintah yang datang dari keduanya harus dijalankan dengan penuh taat, kecuali perintah yang membawa kepada kemusyrikan dan kekafiran. Ungkapan "wa sahib huma fi al-dunya ma'rufan" (pergauilah keduanya di "dunia" dengan penuh kearifan) memberi indikasi bahwa kerja sama dan saling bantu dengan kaum non-Muslim hanyalah terbatas pada hal-hal yang menyangkut urusan dunia dan tidak menyangkut urusan-urusan keagamaan, dalam arti khusus (akidah, ibadah, hal-hal yang menyangkut agama itu sendiri).

Perbedaan dan keberagaman (pluralisme) dalam bidang agama dan kepercayaan, tampaknya telah menjadi hukum Tuhan yang tidak dapat diubah. Karena itu, tugas Rasul dan para pengikutnya bukanlah untuk mengislamkan atau memukminkan seluruh manusia, apalagi dengan cara paksaan. Tugas mereka tidak lebih dari berdakwah dan bertabligh, yakni menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan kepada manusia secara bijaksana, dengan nasehat dan wejangan yang baik, atau melalui dialog-dialog terbuka dan perdebatan-perdebatan yang jujur, logis, rasional. Rasul bukanlah pemaksa melainkan pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira. Wallahu a'lam bisshawab

Sumber:

Cawidu, Harifuddin. 1991. Konsep Kufr dalam Al-Quran; suatu kajian teologis dengan pendekatan tafsir tematik. Bulan Bintang: Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun