Sepak terjang beliau dalam politik bersama Partai Masyumi melambungkan nama beliau dikalangan politisi nasionalis dan komunis saat itu.
Pasca pemilu 1955, kondisi politik bangsa Indonesia justru semakin meningkat. Pada tanggal 17 Agustus 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan presiden nomor 200 tahun 1960 tentang Pembubaran Partai Masyumi. Propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mempengaruhi pemerintahan Soekarno untuk membubarkan Partai Masyumi yang dianggap partai terlarang.
Gejolak politik tidak hanya terhenti dari pembubaran Partai Masyumi oleh Presiden Soekarno, hubungan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Presiden Soekarno semakin erat, teriakkan "Nasakom bersatu, hancurkan kepala batu!" menjadi teror politik kepada mereka yang tak seiring sejalan dengan pemerintah.
Pada tahun 1963, atas desakan dan tekanan PKI terjadi penangkapan para tokoh Masyumi dan GPII serta ulama anti PKI. Para tokoh yang ditangkap ketika itu antara lain, KH. Buya Hamka, KH. Yunan Helmi Nasution, KH. Isa Anshari, KH. Mukhtar Ghazali, KH. EZ.Muttaqien, KH. Soleh Iskandar, KH. Ghazali Sahlan, dan KH. Dalari Umar.
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa politik yang menggemparkan bangsa Indonesia, PKI melakukan pemberontakan yang dikenal sebagai peristiwa G30SPKI. Para jenderal yang kontra dengan komunis, dianiaya bahkan dibunuh. Peristiwa tersebut akhirnya berhasil digagalkan oleh Tentara Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Letkol Suharto.
Pasca terjadi peristiwa G30S PKI, para tokoh Masyumi dan Ulama yang ditangkap oleh pemerintahan Soekarno akhirnya dibebaskan. Rezim pun berganti dari orde lama kepada orde baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto.
Di masa orde baru, Bapak Muhammad Natsir dan para tokoh Masyumi bersepakat untuk tidak lagi berjuang melalui  Partai Politik. Mereka kemudian membentuk sebuah wadah Da'wah yang bernama Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia atau DDII.  Sedangkan KH. Dalari Umar bersama beberapa tokoh Islam lainnya mendirikan Korps Muballigh Jakarta (KMJ). Hubungan antara DDII dengan KMJ terjalin sangat baik begitu pula hubungan dengan ormas-ormas Islam lainnya seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain.
Awal mula masa orde baru, hubungan antara aktifis para tokoh masyumi dan ulama lainnya dengan pemerintahan Suharto relatif berjalan dengan baik. Hingga akhirnya muncul sebuah persoalan yang bagi kalangan aktifis dan tokoh Islam sangat merugikan. Persoalan terjadi ketika pemerintahan orde baru menetapkan asas tunggal Pancasila bagi seluruh ormas dan orpol ketika itu. Sehingga dilarang bagi ormas apapun untuk mencantumkan asas organisasinya selain asas tunggal Pancasila. Hal ini memicu protes keras dari kalangan tokoh-tokoh Islam termasuk KH. Dalari Umar. Mereka menganggap pemberlakuan asas tunggal terhadap ormas-ormas Islam tersebut telah merendahkan keyakinan  umat Islam terhadap asas ideologi Islam yang seharusnya lebih tinggi daripada keyakinan lainnya termasuk asas tunggal tersebut.
Akibatnya terjadi sikap represif rezim orde baru terhadap para penolak asas tunggal, terutama dari kalangan aktifis Islam. Suasana politik era orde baru tidak kalah mengkhawatirkan dari orde lama, kekuasaan menjadi alat menguburkan demokrasi dan kebebasan berpendapat serta berkumpul.
Pada tanggal 12 september 1984 terjadi peristiwa tanjung priok yang menewaskan 33 orang (sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok) semakin menyudutkan Umat Islam ketika itu. Tuduhan terhadap para tokoh Islam yang menolak asas tunggal sebagai radikal dan ekstrimis. Pasca peristiwa tersebut banyak tokoh Islam yang ditangkap dan diburu oleh aparat keamanan (ABRI), Nasib baik berpihak pada beberapa tokoh Islam seperti M. Natsir, Husein Umar, KH. Dalari Umar dan lainnya yang berhasil lolos dari penangkapan aparat.
Melihat situasi politik pasca peristiwa tanjung priok yang belum menguntungkan bagi da'wah Islam Indonesia, maka KH. Dalari Umar merubah strategi berda'wahnya dengan mengganti sementara nama lembaga Koprs Muballigh Jakarta menjadi Majelis Ta'lim Al Hikmah untuk mengelabui aparat keamanan yang ketika itu masih mengintai beberapa ormas yang dianggap keras terhadap rezim orde baru. Meski demikian, KH. Dalari Umar bersama dengan para ulama lainnya tetap berda'wah diatas mimbar untuk menyampaikan kebenaran Islam tanpa rasa takut sedikitpun. Demi menjaga keberlangsungan da'wah Islam ketika itu, KH. Dalari Umar menganjurkan sikap moderat kepada para aktifis da'wah yang beliau sebut dengan istilah "Menjilat haram, konfrontasi jangan."