Tidak banyak orang yang mengenal beliau kecuali para aktivis Islam era orde lama hingga orde baru. Sosok pria kelahiran pekalongan jawa tengah tahun 1915 ini dikenal sebagai seorang pemberani. Keberanian beliau telah dikenal sejak zaman penjajahan. Masuk keluar hutan telah beliau lakukan di masa tersebut bersama para pejuang kemerdekaan lainnya.
 Bahkan tak jarang saat gerilya tersebut, beliau membawa salah seorang anaknya bernama hanifah yang kala itu masih sangat kecil. Pada masa itu beliau sempat mengalami musibah jatuh dari kuda yang dikendarainya, tetapi kejadian tersebut tidak menyurutkan semangat keberanian beliau untuk tetap berjuang memerdekakan negara republik Indonesia dari tangan penjajah belanda maupun jepang.
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, terbukalah sistem politik Indonesia dengan menganut demokrasi multi partai. Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga yang sangat taat beragama, KH. Dalari Umar memilih hak berpolitiknya bersama Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang didirikan oleh Bapak Muhammad Natsir dan beberapa tokoh Islam lainnya di kala itu. Sebuah pilihan yang tepat bagi seorang KH. Dalari Umar tetapi juga tidak mudah, karena perjuangan bersama Masyumi harus berhadapan dengan Partai Nasionalis (PNI) dan Partai Komunis (PKI).
Tahun 1955 diadakan Pemilihan Umum pertama kali bagi bangsa Indonesia sejak memperoleh kemerdekaannya. Pada masa kampanye pemilu 1955, KH. Dalari Umar menjadi salah satu juru kampanye Partai Masyumi di Jakarta. Saat berkampanye, beliau memulainya dengan yel-yel yang menghibur dari atas panggung seraya memandu massa yang telah berkumpul di tanah lapang dengan meneriakkan yel-yel yang berisi sindiran.
"Bintang bulan ?"
"Di luhur"
"Kepala Banteng?"
"Di dapur!"
"Palu arit ?"
"Di kubur !"