Mohon tunggu...
MUJAHIDAH
MUJAHIDAH Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Guru

saya suka olahraga main voly

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Desa Ngablak (Kabupaten Pati) dalam Tahun 1869 dan 1929"

21 Maret 2023   10:20 Diperbarui: 21 Maret 2023   10:24 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

   

Tulisan D.H. Burger

Desa Ngablak, di kewedanaan Tayu kabupaten Pati, terletak di jalan raya antara Tayu dan Jepara, kira-kira 10 km sebelah barat ibukota kewedanaan Tayu, dekat perbatasan kecamatan Tayu dan kecamatan Cluwak. Dalam tahun 1869 Ngablak benar-benar merupakan sebuah desa pedalaman dan dalam tahun 1929 keadaannya masih tetap seperti itu juga. Pada tahun 1869, jumlah penduduk desa Ngablak adalah 912 yang terdiri dari orang pribumi. Kemudian pada tahun 1929, jumlah penduduknya meningkat menjadi 2608 orang pribumi, ditambah 2 orang Cina.

Dalam tahun 1869 masih terdapat rimba dan tanah hutan. Diberitakan pula bahwa tanpa keberatan desa Ngablak dapat menyerahkan 25 bau tanah kepada desa Ngawen yang kekurangan tanah perhumaan. Ternyata masih cukup terdapat persediaan tanah untuk keluarga-keluarga baru dan mereka yang datang menetap di desa itu. Teranglah bahwa pemilikan tanah pada tahun 1869 adalah berkelimpahan.

Sejak dari itu hutan dan rimba dibuka untuk perhumaan. Sesudah peraturan tanam paksa dihapus, sisa-sisa kebun kopi itu diubah menjadi pekarangan dan perhumaan. Sawah dan tanah kering bertambah luas, kebun-kebun kopi banyak yang dijadikan tanah perladangan.

Pekarangan-pekarangan ditanami dengan kelapa dan bermacam-macam pohon buah-buahan tertentu. Tanaman kapuk berkembang dengan pesat selama seperempat abad terakhir dan merupakan tanaman yang sangat penting sekali di antara tanaman-tanaman keras. Penduduk mendapatkan penghasilan yang sangat lumayan dari penjualan kapuk sehingga menambah pemasukan kas desa.

Untuk peternakan terjadi penambahan dari tahun 1869 dan tahun 1929. Pada tahun pertama hewan yang ada di desa Ngablak hanya kerbau. Namun pada tahun kedua sudah terdapat sapi dan kuda. Sapi ini terutama digunakan untuk pertanian dan sebagian digunakan untuk menarik pedati. Sedangkan kuda dipakai untuk menarik gerobak penumpang. Dengan begitu pada tahun kedua ini pemilikan alat-alat angkutan adalah hal yang baru bagi penduduk.

Pada tahun 1869 biasanya ternak di sewa pada saat musim hujan. Harga sewanya dibayar dengan menggunakan padi, yakni 4 bawon (6 pikul) untuk seekor kerbau dalam semusim. Atau 1 amet dan 2 bawon (8 pikul) padi untuk sepasang kerbau. Akan tetapi pada tahun 1929 masyarakat lebih di biasakan mengupah seorang untuk mengerjakan sawah dangan pasangan kerbaunya. Upahnya yaitu f 0.50 selama setengah hari.

Masih di tahun yang sama, di desa tersebut juga terdapat tanah komunal atau yang disebut sebagai "tanah ulayat", yaitu sawah-sawah milik bersama. Sawah ulayat ini tidak boleh diperjual-belikan oleh si pemilik. Bidang-bidang sawah masing-masing pemiliknya tidak mempunyai tempat yang tetap, akan tetapi beralih-alih secara teratur. Sistem pengalihan ini dihentikan pada tahun 1914, dan tidak ada lagi pada tahun 1929.

Masyarakat desa yang sudah memiliki sawah, bukan sawah ulayat lebih dari 1 bau tidak diberikan lagi hak atas tanah ulayat. Sedangkan bagi masyarakat yang sawahnya bukan ulayat, tapi luasnya tidak ada 1 bau, maka hanya akan mendapatkan bagian dari sawah ulayat sedemikian luas, sehingga jumlah luas seluruhnya tidak boleh lebih dari luas tanah seseorang yang menjadi kuli dari sawah ulayat. .

Pelaporan lama memberitahukan empat kali terjadi pergantian sawah-sawah menjadi sawah ulayat. Alasannya karena sawah itu terlantar, tidak terurus sesudah meninggalnnya orang yang pertama kali membukanya. Kemudian pada tahun 1929 jumlah sawah ulayat semakin berkurang dibandingkan tahun 1869. Pada tahun 1929, sebagian tanah ulayat yang tidak terpelihara, dibentuk menjadi "sawah bondo deso". Luasnya 0,396 bau. Setiap tahun sawah itu disewakan dan hasilnya dipakai untuk kas desa.

Pada tahun 1869 tidak satupun tanah dimiliki oleh orang-orang bukan penduduk Ngablak. Tetapi pada tahun 1929 terdapat 24 bidang sawah yang bukan sawah komunal. 9 ladang dan 8 pekarangan. Jadi 41 bidang tanah yang dimiliki oleh 32 orang yang tidak bertempat tinggal di Ngablak. Para pemilik tanah ini sebagian besar tinggal di Tayu, Juwana dan ada yang di Semarang. perpindahan tanah ke tangan orang luar adalah suatu gejala baru di desa tersebut.

Pelaporan tahun 1869 menyebutkan bahwa dari 172 orang kepala keluarga, 136 orang mencari nafkah di bidang pertanian, dan 36 orang di bidang perburuhan serta perdagangan.

Tanah pekaranagn dan perumahan yang bukan tanah ulayat, dalam tahun 1869 boleh diperjual-belikan. Tetapi pembelinya hanya diperbolehkan masyarakat desa setempat saja. Mereka yang berada di luar, harus pindah dulu ke Ngablak. Akan tetapi pada tahun 1929 kepada bukan penduduk Ngablak diperbolehkan untuk membeli tanah. Begitu juga pewarisan tanah. Pada awalnya hanya diperbolehkan bagi masyarakat setempat. Tetapi sekarang penduduk dari luar pun bisa mewarisi tanah di Ngablak.

Pada tahun 1869, seorang tidak dilarang memiliki lebih dari satu pekarangan. Namun pada tahun 1929 hal tersebut diperbolehkan. Dengan demikian maka hapuslah beraneka ragam perwujudan hak kuasa desa terhadap sawah ulayat.

Pekerjaan seperti pandai emas, tukang jahit, tukang kayu, tukang dobi, persewaan kedati dan guru-guru tidak terdapat pada tahun 1869. Pekerjaan seperti itu adalah tergolong pekerjaan baru di desan Ngablak. Masih di tahun tersebut, penghasilan penduduk terutama berasal dari sektor pertanian rakyat. Tetapi pada tahun 1929 di samping dari pertanian, rakyat mendapatkan penghasilan dari sektor-sektor non-pertanian dan perburuhan.

Sekarang desa Ngablak mempunyai pasar sendiri. Tepatnya pada tahun 1926. Pembeliannya dari seorang pengusaha swasta. Pasar ini merupakan pasar kapuk yang terbesr di kabupaten Pati. Di pasar ini kapuk-kapuk di beli oleh orang Cina dan petani-petani. Orang-orang Cina itu adalah para pemilik perusahaan pengolahan kapuk di Tayu, Pati, dan Juwana.

Di musim panen selain kapuk, banyak pula diperjual-belikan barang-barang pakaian dan benda-benda lainnya. Sebagian besar dari pengahasilan yang di dapat dari penjaulan kapuk ini untuk membeli barang-barang itu. Kalau begitu, penjualan kapuk ini merupakan salah satu pemasukan besar bagi masyarakat setempat.

Pada tahun 1929 apabila dibandingkan dengan tahun 1869, pertukaran tanah, perdagangan dan transportasi lalu lintas tentulah sangat banyak bertambah. Perkreditan tanah bertambah dan didaerah-daerah ini sering dilakukan pembayaran uang muka atas harga kapuk yang akan diserahkan.

Penanaman tebu dan kapuk merupakan sesuatu yang baru dan menambah penghasilan rakyat berbentuk uang. Oleh karena itu, pada tahun 1929 penghasilan rakyat lebih banyak daripada tahun 1869. Berbagai kewajiban penduduk mulai di bayar dengan menggunakan uang, dan tidak lagi berupa tenaga kerja maupun hasil bumi.

Perkembangan yang dialami desa Ngablak sampai tahun 1929 terlihat dinamis, khususnya dari sistem ekonomi tertutup tanpa menggunakan uang ke arah ekonomi terbuka, yang menggunakan uang sebagai alat tukar.

Sumber :

Abdullah, Taufik. 2005. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun