Mohon tunggu...
Mujahid Al Haqq
Mujahid Al Haqq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Intenassinal

Mencoba menulis dengan gaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Jitu Menurunkan Harga Barang 1000x Lipat

3 April 2023   13:05 Diperbarui: 3 April 2023   13:11 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahun 2020 lalu, masyarakat ramai memperbincangkan masalah redenominasi rupiah. Pemerintah berencana menerapkan kebijakan redenominasi melalui kementrian keuangan yang tertuang dalam Rencana Strategis KEmenkeu Periode 2020/2024 melalui peraturan Menkeu no. 77. Langkah penyederhanaan mata uang ini adalah dengan mengurangi tiga angka nol di belakang nominal, misal Rp. 10.000,00- (Sepuluh ribu rupiah) akan disederhanakan menjadi Rp. 10,00-. Bagi kita pembelajar ilmu ekonomi moneter yang masih awam tentu harus mengetahui tentang apa itu redenominasi ini.

Banyak pertanyaan yang timbul dari redenominasi ini terutama bagi masyarakat awam, seperti conthnya; apakah redenominasi itu, apakah berarti penyederhanaan mata uang akan meningkatkan nilai tukar rupiah, dan manfaat apa saja yang dapat kita raih jika kebijakan tersebut diterapkan.

Apa itu Redenominasi?

Secara singkat, redenominasi dapat diartikan sebagai penyederhanaan mata uang dengan mengurangi digit angka nol dibelakang sehingga nominal mata uang menjadi lebih sedikit daripada seharusnya. Namun bukan berarti daya beli mata uang itu meningkat karena kebijakan ini hanya memudahkan penyebutan dan penulisan saja tanpa ada perubahan nilai tukar mata uang tersebut. Berbeda dengan Sanering, sanering merupakan penurunan nilai mata uang suatu negara secara nilai tuka yang berakibat menjadi turunnya daya beli mata uang tersebut. 

Sebagai contoh pada tahun 1959, pemerintah Indonesia pernah memangkas nilai mata uang Rp.500,00- menjadi senilai Rp. 50,00-. Begitu juga dengan nilai mata uang Rp. 1000,00 yang nialinya dipotong menjadi senilai Rp. 100,00-, sehingga uang yang beredar di masyarakat memiliki daya beli yang menuruh hingga tinggal senilai 10% saja. Redenominasi ini juga berbeda dengan devaluasi. devaluasi merupakan penurunan nilai mata uang yang dilakukan pemerintah, namun lebih cenderung pada nilai tukar mata uang tersebut dengan mata uang asing.

Untuk memudahkan pemahaman, dapat kita lihat redenominasi yang kita lakukan dalam skala kehidupan sehari-hari. Kita seringkali menjumpai harga barang dagangan yang tertera dengan nilai yang bukan seharusnya, misal secangkir kopi senilai Rp. 10.000,00- ditulis dengan 10k atau 10 saja. Pada hakikatnya, harga secangkir kopi tersebut tetap bernilai Rp. 10.000,00-.

Beberapa negara lain juga sudah menerapkan kebijakan ini, contohnya pada tahun 2005, Turki merubah kode mata uang TL (Lira Turki) menjadi YTL (Lira Turki Baru). Konversi tersebut menghapus enam angka nol dibelakang TL kedalam YTL. Penerapan kebijakan redenominasi berlangsung dalam jangka waktu 7 tahun. Selain Turki,negara lain seperti Rusia, Argentina, Zimbabwe, dan Korea Utara pernah menerapkan kebijakan ini namun hasilnya gagal karena dilakukan dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil. Indonesia sendiri juga pernah melakukan redenominasi di tahun 1965

Tujuan Redenominasi

Redenominasi memiliki tujuan beragam tergantung kepentingan negara. Menurut Mosley (2005), 38 dari 60 negara yang menerapkan kebijakan ini dalam rentang 1960 hingga 2003 melakukannya setelah terjadi hiperinflasi. Ini dapat diartikan sebagai usaha pemerintah untuk melakukan penyederhanaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, bisa untuk meyakinkan publik bahwa krisis sudah selesai seperti yang dilakukan Rusia pada 1998. Lalu mengapa Indonesia akan menerapkan kebijakan ini dalam kondisi yang lumayan terkontrol?

  • Meningkatkan kredibilitas

Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar masih sangat rendah. Negara-negara yang ingin melakukan kerjasama ekonomi Indonesia bisa saja mengalami keraguan saat melihat nilai tukar Rupiah dengan banyak angka nol dibelakang. Dengan mepersingkat nominal, diharapkan kita dapat mendapatkan kepercayaan lebih dengan memunculkan kesan tingginya nilai mata uang Indonesia. Hal ini akan menguntungkan apabila dilihat dari sisi market pshycology.

  • Kemudahan dalam pencatatan

Keuangan yang merupakan suatu regulasi yang mesti dicatat baik dalam kehidupan sehari-hari atau dalam konteks pemerintahan, tentu lebih baik apabila terdapat metode-metode yang dapat memudahkan memudahkan keperluan kalkulasi maupun administrasi. Kebijakan redenominasi ini akan memudahkan kita dalam melakukan pencatatan keuangan.

Dibalik keuntungan yang ditimbulkan dari penerapan kebijakan tersebut, tentu terdapat pula dampak dampak buruk yang bisa terjadi akibat redenominasi

  • Lupa dengan daya beli mata uang sebenarnya

Kebiasaan kita dalam menggunakan rupiah dengan nomnal yang banyak, biisa jadi akan membuat kita meremehkan penggunaan uang yang terlihat kecil setelah dipotong, padahal daya belinya sama. Ini tak menjadi masalah besar apabila dilakukan secara perseorangan atau kecil-kecilan. Namun hal ini berbeda apabila dilakukan dalam skala besar serupa negara, apalagi ditambah apaila kondisi perekonomian tidak stabil sehingga tingkat demand dan supply tidak seimbang. Hal ini mengingat pula bahwa kebijkana ini biasanya dilakukan oleh negara-neagra yang mengalami hiperinflasi.

Kondisi yang terlihat semakin mudah ini dapat membentuk sebuah ilusi yang dapat mnegalihkan kita dari realita sebenarnya. Karena mata uang terasa naik, maka penghematan semakin jarang dilakukan, konsumerisme akan semakin meningkat dan produktivitas semakin menurun

  • Besarnya biaya dalam penerapan kebijakan

Kebijakan ini tentu akan mengeluarkan biaya besar, mulai dari pencetakan uang, distribusi uang, hingga sosialisasi yang perlu dilakukan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk terbanyak dan wilayah yang luas tentu saja perlu melakukan usaha yang besar untuk melakukan kebijakan ini.diantara yang menjadi pertimbangan adalah wilayah yang luas, tingkat intelektualitas dan buta huruf yang berbeda, kondisi geografis yang tak mudah dilewati mobilitas transportasi maupun telekomunikasi, harus dipertimbangkan karena masyarkat membutuhkan pemahaman yang baik terkait kebijakan ini sehingga memerlukan sosialisasi terus menerus.

Menurut kalian gimana nih? Perlu ga sih redenominasi itu? Share pendapat dan pandangan kalian ya ;)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun