Hari Tanah Sedunia. Perayaan ini bertujuan untuk menyadarkan kita semua betapa pentingnya tanah bagi kehidupan di Bumi. Tanah bukan hanya sekadar bagian dari permukaan bumi, tetapi juga merupakan sumber daya yang sangat vital. Tanah menyediakan makanan yang kita makan, air yang kita minum, dan udara yang kita hirup. Tanpa tanah yang sehat, kehidupan di planet ini akan terancam. Tema Hari Tanah Sedunia (World Soil Day) tahun 2024 adalah "Caring for soils: measure, monitor, manage". Kampanye ini menekankan pentingnya data dan informasi tentang tanah untuk memahami kesehatan tanah dan mengelola sumber daya tanah secara optimal
Setiap tanggal 5 Desember, dunia memperingatiSayangnya, tanah yang kita miliki saat ini menghadapi berbagai ancaman seperti erosi, kehilangan kesuburan, dan polusi. Ancaman-ancaman ini dapat merusak kualitas tanah dan mengurangi kemampuannya untuk mendukung kehidupan. Oleh karena itu, Hari Tanah Sedunia mengajak kita semua untuk lebih peduli terhadap tanah. Dengan mengelola tanah secara berkelanjutan, kita dapat menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, dan melindungi keanekaragaman hayati. Melalui pengelolaan tanah yang baik, kita juga dapat berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan memastikan ketersediaan pangan untuk generasi mendatang.
Kondisi petani dan lahan pertanian di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang kompleks dan mendalam, yang secara langsung mempengaruhi upaya bangsa dalam mencapai ketahanan pangan dan kemandirian sebagaimana diamanatkan dalam Astacita poin kedua. Tantangan-tantangan ini mencakup degradasi kualitas tanah, keterbatasan pengetahuan petani dalam pengelolaan lahan, ketergantungan pada input pertanian kimia, serta dinamika sosial-ekonomi yang memperparah situasi.Salah satu isu utama adalah luas lahan pertanian yang semakin menyusut. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah petani gurem---yaitu mereka yang mengelola lahan kurang dari 0,5 hektar---mencapai 17.248.181 orang dari total 27.799.280 petani di Indonesia. Ini sesuai dengan hasil Sensus Pertanian BPS. Kondisi ini diperburuk oleh alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian, yang mencapai 50.000 hingga 70.000 hektar per tahun, sementara pencetakan sawah baru hanya sekitar 20.000 hingga 40.000 hektar per tahun, sebagaimana dinukil dari Dinas Pertanian Kulon Progo. Akibatnya, luas lahan sawah cenderung menurun, mengancam kapasitas produksi pangan nasional.
Selain itu, kualitas tanah pertanian mengalami penurunan signifikan akibat praktik pengelolaan yang tidak berkelanjutan. Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan telah menyebabkan kerusakan tanah dan penurunan produktivitas. Penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan pada pupuk kimia tidak hanya merusak struktur tanah tetapi juga mengurangi keanekaragaman hayati mikroorganisme tanah yang penting untuk kesuburan. Ini dikutip dari  publikasi Pertanian E-Publikasi Pertanian dengan judul : Pengelolaan Lahan Secara Berkelanjutan. Lebih lanjut, penggunaan pestisida yang tidak terkontrol telah mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi 1 hingga 5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja sektor pertanian, yang sebagian besar terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.
ini sebagaimana dikutip dari IASSF Journal.
Ketergantungan pada bibit non-lokal yang membutuhkan input tinggi juga menjadi masalah. Bibit-bibit ini seringkali tidak sesuai dengan kondisi lokal dan memerlukan lebih banyak pupuk serta pestisida untuk mencapai hasil optimal, yang pada gilirannya meningkatkan biaya produksi dan risiko lingkungan. Kurangnya pengetahuan petani tentang praktik pertanian berkelanjutan memperparah situasi ini. Banyak petani tidak memiliki akses atau informasi mengenai teknik konservasi tanah, rotasi tanaman, atau penggunaan pupuk organik, yang sebenarnya dapat meningkatkan produktivitas tanpa merusak lingkungan.
Dari perspektif sosial-ekonomi, banyak petani Indonesia berada dalam kondisi rentan. Pendapatan yang rendah dan tidak stabil membuat mereka sulit berinvestasi dalam praktik pertanian yang lebih baik atau teknologi baru. Akses terhadap kredit juga terbatas, menghambat kemampuan mereka untuk melakukan rehabilitasi lahan atau diversifikasi usaha tani. Kondisi ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus, menghambat upaya peningkatan kesejahteraan dan kemandirian pangan.
Menghadapi tantangan-tantangan ini, peran pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan menjadi krusial. Diperlukan kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi untuk mengatasi permasalahan lahan dan petani Indonesia. Pertama, pemerintah perlu memperkuat regulasi untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali. Implementasi zonasi lahan yang ketat dan insentif bagi petani untuk mempertahankan lahan pertanian dapat menjadi langkah awal.
Kedua, peningkatan kapasitas petani melalui pendidikan dan pelatihan tentang praktik pertanian berkelanjutan harus menjadi prioritas. Program penyuluhan yang efektif dapat membantu petani memahami pentingnya konservasi tanah, penggunaan pupuk organik, dan teknik pertanian ramah lingkungan lainnya. Selain itu, pengembangan dan distribusi bibit lokal yang adaptif dan efisien dalam penggunaan input perlu didorong untuk mengurangi ketergantungan pada bibit impor yang tidak sesuai.
Ketiga, pemerintah harus memastikan ketersediaan dan aksesibilitas input pertanian yang berkualitas dan terjangkau. Subsidi untuk pupuk organik dan pestisida hayati dapat mendorong petani beralih dari produk kimia yang merusak lingkungan. Selain itu, pengembangan infrastruktur pertanian, seperti irigasi dan penyimpanan hasil panen, akan membantu meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Keempat, akses terhadap pembiayaan harus diperluas. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga keuangan untuk menyediakan skema kredit mikro dengan bunga rendah dan persyaratan yang mudah dipenuhi oleh petani kecil. Hal ini akan memungkinkan mereka berinvestasi dalam teknologi pertanian modern, rehabilitasi lahan, atau diversifikasi usaha yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Kelima, penguatan kelembagaan petani melalui pembentukan koperasi atau kelompok tani dapat meningkatkan posisi tawar mereka dalam rantai pasok. Dengan bergabung dalam kelompok, petani dapat membeli input secara kolektif dengan harga lebih murah, menjual produk dengan harga lebih baik, dan mendapatkan akses lebih mudah ke informasi dan teknologi.