Mohon tunggu...
Mujab Mujab
Mujab Mujab Mohon Tunggu... Buruh - Wahana menuangkan karya dan gagasan

Saya aktif di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Selain itu aktif di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sejak tahun 2003 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar (di Masa Pademi) Harus Jalan Terus

15 Agustus 2020   00:03 Diperbarui: 15 Agustus 2020   00:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pademi covid-19 mengubah cara belajar para siswa, mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Kalau biasanya pendidikan menjauhkan anak anak dari internet kini harus menggunakannya. Biasannya anak dihindarkan dari internet kini banyak materi pembelajaran diambil dari sana. Biasanya guru menyita murid yang kedapatan membawa hp di tasnya kini orang tuanya terpaksa banting tulang peras keringat agar tersedia smartphone plus kuota internetnya agar anaknya bisa belajar online.

Di sisi lain biasanya orang tua cuek dengan pembelajaran anak karena sudah merasa memasrahkan kepada sekolah kini mau tidak mau harus terlibat dalam pembelajaran anak. Biasanya orang tua ketemu anak pada pagi hari sesaat sebelum berangkat kerja dan malam sesaat sebelum tidur kini bisa jadi seharian mereka bersama anak anak mereka karena anaknya belajar secara online dan orang tuanya WFH. Banyak yang mengeluhkan kenakalan anaknya, merasa repot, merasa capek dan lain sebagainya.

Saat ini disebut sebut sudah memasuki era industry 4.0, dimana peran koneksi internet pita lebar, AI, Internet of Things, Big Data, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan era ini sudah merasuk dalam kehidupan kita. Mungkin kita tidak menyadari bahwa kita bisa mudah memanfaatkan aplikasi maps yang memandu perjalanan kita, ini butuh koneksi intenet cepat 3G, atau 4G. 

Kita bisa lihat lihat foto produk teman-teman kita di medsos atau belanja online di marketplace. Tentu akan sangat membosankan kalau missal internet masih di era 2G. lihat satu gambar saja bisa semenit baru muncul. Kita bisa lihat tutorial hijab, tutorial menanam bawang merah, dan banyak yang menjadi youtuber tentu akan sangat tidak lancar tanpa didukung koneksi internet cepat dan ketrampilan di bidang tersebut. Maka belajar dari rumah anak anak seharusnya memiliki banyak waktu untuk menyiapkan diri dan masa depan mereka memasuki era industry  4.0 tersebut.

Anak anak, pelajar dan mahasiswa bisa membaca materi dan referensi nyaris tanpa batas di internet. Kalau mengalami kebingungan bisa memasuki kursus online yang bisa dijalani di rumah. Kalau missal belum punya budget kursus bisa melihat tutorial di youtube kemudian mencobanya. Channel youtube bisa diakses pagi, siang, sore, malam, dini hari, tujuh hari selama seminggu dan 52 minggu dalam setahun.

Pembelajaran di sekolah bagaimana? Guru juga seharusnya juga  belajar dan terus mengembangkan diri agar tetap menarik di hadapan anak didiknya, menarik dalam menyampaikan materi, menarik dalam memilih metode pembelajaran dan asyik dalam mengembangkan pola berpikir. Tidak melulu memberikan materi monoton dan tugas. Jangan sampai guru hanya screenshoot beberapa halaman buku atau modul lalu share di wa kemudian murid suruh baca,  setelah itu guru kirim tugas dan menunggu murid kerjakan tugas. Ini nyaris sama dengan sekolah yang searah. Itu tidak menarik.

Harapannya justru pembelajaran bukan searah dari guru ke murid, tetapi bisa menuju kolaborasi guru murid.  Guru dan murid sama sama mengembangkan pengetahuan, kecerdasan, pemecahan masalah, membuat proyek bersama, riset bersama dan kemudian berkotribusi untuk kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Saat ini adalah saat tepat karena guru dan murid punya kesetaraan dalam akses informasi dari internet.

Alangkah indahnya missal guru dan murid berkolaborasi mengembangkan system pembelajaran fisika di kelas mereka, alih alih menghafalkan rumus dan mengerjakan soal dan tugas setiap hari. Sehingga fisika bisa dipelajari dengan cara asyik karena dikembangkan dari paduan antara sudut pandang guru dan siswa. Materi bisa dipahami dengan  mudah karena system pembelajarannya menarik. Guru menguasai materi dan anak menguasai teknologi kemudian keduanya berkolaborasi menciptakan system pembelajaran yang lebih asyik.

Bagi yang masih fakir coverage miskin sinyal

Realitasnya banyak sekali yang belum memiliki koneksi internet. Banyak media memblowup bagaimana orang tua harus jual ini untuk beli smartphone, menjual itu untuk beli paket data, jual cilok untuk beli hp agar bisa belajar online,  naik pohon untuk dapat sinyal, dan lain sebagainya. Banyak sekali warga dan daerah yang masih fakir coverage dan miskin sinyal internet.

Bagaimana pembelajaran dikembangkan di tengah situasi seperti ini? Jawabannya adalah ada atau tidak ada internet pembelajaran harus jalan terus. Belajar itu bisa tentang apa saja, dimana saja, kapan saja dan sebenarnya boleh belajar dengan siapa saja. Sumber belajar bisa dari materi di sekolah, dari guru, masyarakat dan dari alam disekitarnya.

Kadang siswa waktunya habis di kelas dari jam tujuh pagi hingga jam satu siang, sehingga kehabisan waktu untuk mengamati alam sekitar, mencatat kejadian dan peristiwa, mengamati dan meneliti kebiasaan dan budaya di masyarakatnya dan lain sebagainya. 

Dengan adanya belajar dari rumah anak bisa belajar kehidupan bapak ibunya, potensi di kampungnya, pengembangan ekonomi dan produksi warga desa, dan lain sebagainya. Anak bisa belajar menanam ke ladang, berkelana ke hutan, berenang dan mencari ikan di sungai, mengamati pantai dan mungkin sesekali ikut bapaknya melaut sehingga terbangun juga keberanian dan kecintaan pada laut yang luas itu. Untuk melakukan semua ini tidak begitu tergantung pada koneksi internet.

Anak anak di sekitar hutan bisa mencatat potensi hutan yang ada, potensi ladang dan kebun yang dimiliki orang tuanya, potensi wisata yang mungkin bisa dikembangkan di desanya dan sebagainya. Khawatirnya saat ini anak petani tidak hafal bedanya beras menthik susu dan menthik wangi. Atau keliru memilih serai dan jahe. Jangan jangan anak anak tidak hafal lagi bedanya merica dan ketumbar. Atau kesulitan membedakan rumput gajah dan serai.

Jangan jangan mereka tidak membedakan kusen dari kayu jati dan kayu mahoni, atau sulit membedakan antara kayu waru dengan kayu meranti? Hal ini mungkin saja terjadi karena walaupun mereka anak petani waktu mereka tersita cukup banyak disekolah. Bagaimana mau mencintai pertanian, kehutanan dan lautan kalau memahami saja masih keliru keliru? Orang tua dan masyarakat mereka adalah referensi dan sumber belajar yang bagus untuk belajar kekayaan sekitar anak, dan ini mudah dilakukan walaupun tidak ada koneksi internet.

Dengan adanya pademi ini anak anak justru berkesempatan untuk belajar secara nyata dan bersentuhan langsung dengan materi yang dipelajari. Kemudian bisa berdiskusi, berdialog, bertanya, mengingat, memahami, membedakan, mengelompokkan, merawat, mengawetkan, memelihara, memperbanyak, memperkaya, mengembangkan, menghayati,  dan belajar mengontrol. Sehingga segenap sumberdaya yang ada di sekitar mereka bisa mereka kelola untuk kebaikan kehidupan mereka, kesejahteraan mereka, dan kemakmuran bangsa.

Situasi saat ini mengingatkan bahwa belajar itu sangat banyak aspeknya, sangat banyak sumbernya dan sangat banyak bidangnya. Anak, orang tua dan masyarakat punya sangat banyak pilihan dan bebas memilihnya. Sekolah salah satunya saja.

Selamat Belajar untuk kita semua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun