Arief Budiman dalam sebuah seminar di Jakarta yang dilakukan akhir tahun 1993 sudah memperingatkan untuk mewaspadai budaya Materialisme, Egoisme dan Persaingan kaitannya dengan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Waktu itu Arief menyampaikan bahwa budaya Materialisme, Egoisme dan Persaingan ini akan menguasai hajat hidup orang banyak (meminjam istilah dalam UUD 45). Lebih lanjut dijelaskan bahwa budaya tersebut sudah masuk ke rumah-rumah penduduk Indonesia, mendesak untuk tinggal bersama kita, bangsa Indonesia.
Peringatan tersebut saat ini kita merasakan benar bahwa kehidupan berdemokrasi bangsa Indonesia seakan tidak bisa dipisahkan dari budaya tersebut. Banyak persoalan sehari-hari bangsa ini yang terkait dengan budaya maerialisme, egoisme, dan persaingan baik erat maupun tidak erat, langsung maupun tidak langsung, nyata maupun tersembunyi, diakui maupun malu untuk mengakui.
Materialisme, Egoisme dan Persaingan ini diibaratkan sebagai sebuah kesatuan yang mana antara satu dengan yang lain tidak terpisahkan karena saling berkait. Yang satu mendukung yang lain, dan berikutnya menguatkan elemen yang lain. Saling membutuhkan dan memberikan hasil akhir yang signifikan atas perubahan manusia dari manusia seutuhnya menjadi manusia yang tergerus budaya tersebut.
Materialisme dimaknai sebagai mengutamakan materi sebagai nilai yang paling berharga. Kekayaan kemudian menjadi ukuran untuk mengukur martabat seseorang. Dengan kata lain martabat seseorang tidak dilihat dari siapakah dia sesungguhnya namun lebih diukur dari apakah yang dia miliki. Arief meminjamkan istilah Eric Fromm dengan menjelaskn bahwa masyarakat sekarang ini leih sibuk dengan “What do you have” dan bukan “what are you”.
Kelihatannya budaya materialisme inilah cikal bakal budaya korupsi di Indonesia yang menjadi racun kehidupan berdemokrasi. Gambarannya adalah si H bisa saja jujur, pandai berpolitik, dan paham soal kemasyarakatan. Tapi ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau kepala daerah banyak diantara pemilih yang berkata, “ya dia pandai, dia jujur, tapi kok miskin ya, tidak mau memberi sesuatu sebagai balasan atas dukungan yang diberikan.”
Dalam hal ini pelan-pelan budaya materialisme berbisik bahwa memilih di H yang miskin tidak ada keuntungan profitnya sekalipun ia jujur dan pandai. Demokrasi kemudian dimaknai sebagai keuntungan profit dan kalkulatif. Pemikiran seperti ini kemudian menjadi lingkaran ujung pangkalnya, apakah calon yang membudayakan pemilih untuk berpikir seperti itu, atau rakyat pemilih yang dengan mudahnya (bahkan dengan senang hati) dibodohi.
Kemudian lahir situasi dimana berpolitik identik dengan beaya tinggi, bukan kejujuran dan kemampuan tinggi. Kuat modal seakan lebih utama dan lebih wajib. Akhirnya calon terpilih terlilit beaya dan harus berupaya segala cara untk balik modal, bahkan laba untuk karier politik berikutnya. Hal serupa menimpa para pejabat yang rakus jabatan sehingga menggunakan uang dan kekayaan untuk memuluskan kariernya. Keadaannya tidak jauh berbeda. Hal tersebut kemudian mempengaruhi cara mereka menjalankan tugas dan kebijakan yang mereka buat.
Persoalan kedua adalah egoisme. Egoisme menuntun orang untuk berpendapat bahwa diri sendiri sebagai yang paling utama dari orang lain. Istilahnya adalah saya ini penting dan memang harus diurusi, di dahulukan. Kalau ada orang kesulitan membangun hidup, mencari sesuap nasi sementara dirinya berkecukupan bahkan berlebihan, itu bukan urusan. Lu lu, Gua, gua, kata Arief budiman meminjam istilah orang Jakarta.
Dalam wilayah yang lebih luas egoisme ini membunuh rasa peka dan peduli pada kehidupan orang lain, tetangga, sampai kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang baru teriak kalau ada sebuah kejadian dan kebijakan mengganggu kepentinganya. Tetapi kebijakan dan UU yang merugikan rakyat banyak akan diacuhkannya. Egoisme kemudian menjadi racun dalam kehidupan berdemokrasi karena dalam demokrasi mengandaikan adanya peran aktif dari rakyat selaku pemilik sah kedaulatan. Racun ini sudah menginfeksi dari rakyat bawah hingga wakil rakyat dan pejabat negara yang tidak memiliki kepedulian terhadap nasib orang lain. Peduli saja tidak, apalagi memiliki kemampuan melakukan kontrol dan pengawasan yang notabene membutuhkan semangat, ketrampilan dan keberanian.
Budaya ketiga yang merugikan demokrasi adalah Persaingan. Pada mulanya persaingan itu positif karena menumbuhkan semangat bekerja lebih keras dan berpikir optimis, bahwa masalah bisa dicarikan solusi. Namun ada kalanya persaingan menjadi racun berdemokrasi dan kehidupan berbangsa dan bernegara manakala persaingan menjelma menjadi sahnya hukum rimba. Hal ini akan menjadi semakin memiliki daya rusak tinggi ketika persaingan berkolaborasi dengan materialisme dan egoisme.
Hukum rimba persaingan mengarahkan para pelakunya untuk berpikir bahwa yang kuat adalah yang menang. Kemudian para pelaku berupaya membangun kekuatan diri sambil melemahkan pihak lain. Persoalan ini semakin jelas dalam perjalanan partai politik sebagai pilar dari demokrasi. Jumlah kursi di legislatif tetap sehingga kalau pengin besar dan memiliki kursi yang banyak harus ada yang dijadikan kecil dan direbut kursinya. Kalau perlu pihak lain mati dan tidak mendapakan kursi adalah sah-sah saja. Akan ada pihak-pihak yang tidak terwakili jika mengasumsikan setiap partai mewakili garis perjuangan kepentingan tertentu. Maka dewan perwakilan rakyat kemudian menjelma menjadi dewan perolehan (suara) rakyat. Ada rakyat yang tidak memperoleh wakil dianggap wajar dalam demokrasi di Indonesia.