Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikah Online, Sahkah?

19 Desember 2021   16:16 Diperbarui: 12 Januari 2023   20:44 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nikah online (KEMENAG VIA KOMPASTV)

Online. Sekarang ini, apa sih yang tidak online? Hampir semua aktivitas serba online. Seakan-akan semua kudu online pada akhirnya. Tidak afdal kayaknya kalau tidak online. 

Dari belanja, belajar, rapat, seminar, konser musik, dan seterusnya, hatta prostitusi pun mesti online, meskipun "nganunya" tetap saja offline.

Aktivitas serba online ini sesungguhnya tidak serta-merta karena pandemi. Tapi jauh sebelum itu juga sudah membudaya (baca: gaya hidup). Hanya saja tampaknya selama musim pandemi ini sedikit banyak menjadi semacam penahbisan dari "ritual wajib" dan keniscayaan untuk aktivitas online ini.

Namun begitu bukan berarti tidak ada aktivitas yang tidak online. Jelas tetap ada dan tidak sedikit aktivitas sosial, misalnya menyangkut ritual keagamaan dan sosial budaya yang tidak bisa dilakukan secara online.

Alasannya terkait dengan hukum agama, norma, tradisi, masih tabu, dan masih menjadi kontroversial jika dilakukan secara online.

Salah satu aktivitas yang bermuatan nilai-nilai agama, hukum, sosial, dan budaya yang masih menjadi kontroversial adalah nikah online. 

Nikah online maksudnya adalah akad nikah yang dilangsungkan secara online, atau prosesi akad nikah yang tidak digelar secara offline atau enggak lewat tatap muka langsung. Bisa juga dibilang pernikahan jarak jauh (PJJ).

Kontroversi tentang Nikah Online

Dalam literatur hukum Islam, pernikahan atau perkawinan itu sah jika sudah terpenuhi rukun nikah, yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Mahar (maskawin) itu termasuk syarat.

Apakah nikah online itu sah atau tidak, boleh atau tidak secara hukum Islam? Para ulama fikih (hukum Islam) berbeda pendapat dalam hal ini seiring realitas kemajuan teknologi alat komunikasi.

Bukankah prinsip hukum (peraturan) itu mestimya up to date, mengikuti sesuai perkembangan zaman?

Perbedaan pendapat itu berkisar pada soal syarat sahnya nikah, antara lain, utamanya terpenuhi rukun nikah, ada mahar, dan peristiwa nikah itu harus dilangsungkan pada waktu dan ruang bersamaan.

Artinya, peristiwa nikah itu (akad nikah) harus dalam satu waktu (real-time) dan satu ruang (ittihadul wakti wa ittihadul majlis). Tidak boleh ada jarak waktu dan terpisah ruang atau tempatnya. 

Juga, proses pengucapan ijab qobul antara wali nikah dan calon mempelai pria itu harus bersambung (al-ittishal), bertaut, berkelindan, tidak ada jeda, dan tidak ada hal-hal (ucapan atau kegiatan) yang tidak disyariatkan yang menyelingi.

Misalnya, tatkala prosesi ijab qabul, wali nikahnya mengucapkan, "Saya nikahkan dan saya kawinkan...dst." Lantas, calon pengantin pria ketika hendak menjawab, sontak melengos minta izin untuk seruput kopi, lalu balik lagi, dan buru-buru menjawab, "Saya terima nikahnya...dst." Ini jelas enggak boleh. Dan enggak sah akad nikahnya. Pasti diulangi ijab qabulnya.

Atau, karena kebiasaan sehari-hari kalau jawab selalu pakai kata "Siap!" Maka dia jawab, "Siap, saya terima nikahnya...dst." Nah, seperti ini juga enggak boleh, apalagi ditambah dengan menggunakan kata, "Siap Komandan" segala. Atau terselip ucapan, "Eh, lupa..." Ambyar pasti akad nikahnya.

Jika prosesi akad nikah atau peristiwa nikah tidak memenuhi semua syarat dan rukunnya itu, maka nikahnya dianggap tidak sah.

Dalam hal ini, makanya ada ulama fikih (hukum Islam) yang berpendapat bahwa nikah online itu tidak sah dan tidak membolehkannya (melarangnya), dan sebaliknya ada juga ulama fikih yang menganggap sah dan membolehkannya.

Ulama fikih yang berpendapat bahwa nikah online itu tidak sah dan tidak membolehkan (melarang), antara lain misalnya, mayoritas ulama mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Syekh Yusuf Al-Qardawi, dan yang lainnya, beralasan bahwa akad nikah itu harus disaksikan secara tatap muka dan hadir secara offline dalam satu waktu dan satu ruang (ittihadul wakti wa ittihadul majlis).

Mereka juga memandang bahwa akad nikah itu sakral, sehingga jika akad nikah dilaksanakan secara online bisa menghilangkan kesakralan akad nikah dan dikhawatirkan terjadi sikap mempermainkan prosesi akad nikah itu.

Selain itu, sering terjadi kendala atau gangguan pada jaringan internet yang menyebabkan prosesi akad nikah secara online terputus dan ijab qabulnya tidak bersambung.

Sedangkan ulama fikih yang berpendapat bahwa nikah online itu sah dan membolehkannya, antara lain, misalnya mazhab Hambali, Wahbah Az-Zuhaili, dan yang lainnya beralasan bahwa syarat akad nikah harus dilaksanakan dalam satu ruang (ittihadul majlis) itu bermakna dalam satu waktu (ittihadul wakti) secara bersamaan (streaming atau real -time). 

Jadi, ruang menjadi nisbi, dan yang ada dan abadi adalah waktu. Atas dasar inilah, tampaknya nikah online memenuhi itu. Bukankah salah satu dampak kemajuan dalam teknologi alat komunikasi sekarang ini, dunia menjadi sebuah desa yang takada lagi sekat?

Yang penting dalam prosesi akad nikah online bahwa semua pihak, yaitu wali nikah, calon mempelai pria, calon mempelai wanita (walaupun ketidakhadirannya tidak mengurangi sahnya akad nikah), dan para saksi menyaksikan dengan mata kepala dan mendengar secara jelas, dan tidak ada keraguan sama sekali. 

Dalam hal ini, nikah online dianalogikan dengan jual beli online. Jadi, nikah online itu sama saja dengan jual beli online, di situ sama-sama prinsipnya ada akad atau "transaksi", yang penting jelas, dan tidak meragukan.

Demikian. Nikah online. Yang jelas, mengutip sabda Nabi, "Da' ma yuribuka ila ma la yuribuka." Hindari hal-hal yang meragukanmu menuju hal-hal yang tidak meragukanmu. Artinya, yakinlah! Jika tidak yakin, jangan. Itu bisa jadi masih ada noda dosa yang mengetsa di hatimu.

Sebagai catatan kaki, kayaknya tidak afdal jika tidak mengutip Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wallahualam bi al-shawab. Tabik. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun