Jangan-jangan kita beragama itu sekadar kedok untuk meluluskan ego dan vested-interest kita secara pragmatis-materialistik, bukan pure spiritualistik? Tidakkah beragama kita tidak lebih sekadar politisasi agama dan pencitraan?
Kalau itu semua benar adanya, anggap saja sesungguhnya pandemi ini adalah kritik Tuhan dan semesta pada kita untuk wawas diri dan introspeksi diri (muhasabah) kita, baik secara pribadi maupun komunal.
Saat pandemi ini, adalah penting menjaga kekebalan komunal (herd immunity) kita, dan menyetop kebebalan komunal (herd stupidity) kita. Kita mesti kebal, jangan bebal gegara kita mengabaikan akal sehat dalam menyikapi bahaya pandemi yang masih mengancam keselamatan kita.
Astagfirullah al-'adzim wa atubu ilaih. Kita memohon ampun kepada Allah atas dosa dan kesalahan kita selama ini, sembari terus meningkatkan keberagamaan kita untuk lebih baik dan berkualitas.
Idul Adha ini mengingatkan kita pada tapak tilas dan rekam jejak sejarah perjalanan Nabi Ibrahim, dan istrinya Hajar, beserta putranya, Nabi Ismail dalam praktik (manasik) ritual haji dan kurban.
Haji dan kurban, satu sisi, sama-sama bertujuan mendekatkan diri pada Allah, meneguhkan keimanan, dan meningkatkan ketakwaan kita.
Dan di sisi lain, pada kesempatan yang sama, sekaligus menunjukkan kualitas kemanusiaan kita, kepedulian dan empati kita lebih-lebih saat pandemi seperti sekarang ini.
Niat yang baik dan keikhlasan yang tulus dari ritual yang dilakukan sebagai pengejawantahan kualitas ketakwaan yang akan dinilai dan diterima oleh Tuhan.
"Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (Al Hajj : 37).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H