Pandemi sejauh ini dirasakan sedikit banyak sangat memengaruhi segala aspek kehidupan kita sehari-hari. Termasuk bagi yang kerja, di awal pandemi memaksanya untuk lebih banyak bekerja di rumah (WFH) ketimbang WFO.
Namun seiring berjalannya waktu, kini ada kebijakan dari pemerintah untuk tetap masuk kerja dengan pembagian waktu 50% WFO dan 50% WFH. Dengan tujuan tettap tercipta produktivitas kerja dan proses kegiatan ekonomi perlahan-lahan berjalan sebagaimana mestinya.
Tetapi semua aktivitas itu tetap harus memperhatikan protokol kesehatan covid dengan selalu menerapkan 5M (Memakai masker, mencuci tangan dengan sabun (hand sanitizer), menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas).
Berpuasa Ramadan tahun ini pun mau tidak mau realitasnya masih tetap banyak di rumah saja. Namun demikian, apakah dengan berpuasa Ramadan di rumah saja, produktivitas hidup kita terhambat dan akhirnya kita terjerambab pada situasi malas gerak (mager), rebahan dan tidur melulu?
Tidak usah menjadikan dalih dari dalil "naumu al-shoim 'ibadatun" (tidurmya orang yang sedang berpuasa itu adalah ibadah), sehingga tidurnya saja atau magernya saja dari orang berpuasa itu dapat pahala.
Ingat, pesan Nabi Muhammad saw pada umatnya yang berkaitan puasa Ramadan, "Betapa banyak yang berpuasa, tapi muspra, karena sekadar menahan lapar dan haus."
Berkenaan dengan sabda Nabi ini, ada kisah menarik bahwa suatu hari di Bulan Ramadan, Rasul saw lewat di suatu rumah dan mendengar dengan jelas seorang majikan sedang memarahi dan memaki-maki pembantunya. Rasul menghampiri majikan itu sambil membawa makanan dan menyuruhnya untuk berbuka.
Seorang majikan tersebut merasa heran dan bertanya-tanya, kenapa Rasul memperlakukannya seperti ini, padahal ia sedang berpuasa.
Kata Rasul, "Bagaimana mungkin anda berpuasa, sedangkan aku mendengar anda tadi memarahi dan memaki-maki pembantumu?" Makanya, "Begitu banyak orang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa (makna) dari puasanya, kecuali rasa lapar dan haus." Rasul menutup sabdanya.
Berpuasa itu mestinya tidak berhenti pada kondisi yang sekadar menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seks beserta hal-hal yang membatalkan puasa di siang hari. Tapi lebih daripada itu, mestinya sampai pada kondisi menahan diri, mengendalikan hawa nafsu, dan menghindari perbuatan yang keji dan tidak terpuji.
Bahkan, berpuasa itu mestinya lebih bersifat esoterik dan metafisik, yakni hanya berorientasi dan memfokuskan diri pada keridhaan Allah semata.Â
Artinya, terbebaskan dari kebutuhan dan kecenderungan perilaku yang bersifat eksoterik dan duniawi yang dapat merendahkan muruah (martabat dan derajat) kemanusiaan dan hamba-Nya yang paling mulia.
Ramadan hanyalah momentum dan madrasah selama sebulan. Tapi, dalam sebulan ini, mampukah kita memanfaatkannya semaksimal mungkin sehingga memiliki efek positif pada sebelas bulan berikutnya?
Tradisi baik di Bulan Ramadan yang kita lakukan ibarat menenun kain. Jangan sampai kita mengoyak kain yang sudah utuh dan kuat itu yang selama sebulan penuh dengan susah payah kita tenun, terurai menjadi utasan benang kembali. (Q.S. An Nahl ayat 92).Â
Sungguh kerja yang sia-sia. Artinya, semangat keberagamaan yang menggebu dan cahaya spiritual yang berpendar selama sebulan penuh di Bulan Ramadan, jangan sampai melemah dan meredup kembali di bulan-bulan di luar Ramadan.
Tradisi tadarusan, qiyamul lail, bersedekah, dan amalan-amalan (aktivitas) Â baik lainnya selama Ramadan, harus terus dirawat pada bulan-bulan di luar Ramadan.
Jangan sampai berhenti pada Ramadan ini saja. Makanya, diharapkan di Bulan Ramadan ini, kita berpuasa selain harus benar tapi juga beuneur.
Benar artinya sesuai dengan yang disyariatkan. Memenuhi syarat, rukun dan hal-hal yang membatalkan puasa secara fikih. Sedangkan yang namanya beuneur (Sunda) artinya berisi. Lawannya adalah hapa (Sunda) atau gabuk (Jawa) artinya hampa, kosong, tak berisi.
Oleh karena itu, dalam literatur kitab klasik, misalnya, Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali (wafat tahun 505 H) memilah ritual puasa kepada tiga kategori: Shaum al-'umum (puasa umum), shaum al-khusus (puasa khusus), dan shaum khusus al-khusus (puasa super khusus).
Shaum al-'umum, yaitu berpuasa dengan menjaga perut dan alat kelamin dari perbuatan syahwat. Seperti yang sudah diuraikan di atas, berpuasa sekadar menahan diri dari tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan seks sepanjang hari di bulan Ramadan.Â
Puasa seperti ini dikategorikan sebagai puasanya kebanyakan orang, atau (kerap disebut) sebagai puasanya orang awam.
Shaum al-khusus, yaitu berpuasa tidak sekadar menahan diri dari tidak makan, tidak minum dan tidak berhubungan seks, sebagaimana kategori pertama, shaum al-'umum; tapi lebih daripada itu, adalah berpuasa dengan menjaga seluruh organ tubuh, baik itu pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, maupun kaki dari perbuatan keji dan dosa. Puasa seperti ini adalah puasanya orang-orang salih.
Adapun shaum khusus al-khusus, adalah puasa kalbu dengan menjaganya dari pengaruh negatif atau merendahkan martabat kemanusiaan dan pikiran-pikiran yang bersifat duniawi.Â
Puasa seperti ini hanya bertumpu dan memfokuskan diri kepada Allah. Hati hanya mengharap keridhaan Allah semata. Berpuasa yang lebih bersifat esoterik dan metafisik.Â
Terbebaskan dari kebutuhan dan kecenderungan duniawi dan bersifat eksoterik. Puasa seperti ini maqamnya (levelnya) para Nabi dan para sufi. (Lihat, Al-Imam Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 1, Daar El-Hadis, Kairo, h. 307).
Dalam bahasa Jawa, ada ungkapan, "Ojo nganti pasamu gabuk!" Jangan sampai puasamu hampa, kosong, tak berisi. Ibarat menanam padi, ketika panen raya, kita menghasilkan bulir-bulir padi yang berisi (beuneur, bahasa Sunda artinya berisi), Bulir-bulir padi yang berbobot dan bernas.
Artinya, dengan berpuasa, kita sebenarnya kembali menyemai, menanam, memupuk, menyirami, merawat kesadaran kita untuk senantiasa mendekatkan diri (muqarabah) dengan Tuhan, sehingga kita merasakan Tuhan begitu dekat dengan kita.Â
Pada gilirannya, kita pun merasakan bahwa Tuhan selalu mengawasi (muraqabah) segala tindak tanduk kita setiap saat. Itulah antara lain buah dari berpuasa.
Kalau kita terus merawat dengan baik kesadaran ini saja sepanjang hidup kita, maka takwa kepada Tuhan, menjaga marwah (martabat) sebagai manusia dan hamba-Nya yang paling mulia, yang notabene itu adalah tujuan berpuasa sudah kita raih.
Sekali lagi, kita berpuasa, mestinya tidak saja benar, tetapi juga (dituntut) beuneur, berisi dan bernas. Ojo nganti pasamu gabuk! Jangan sampai puasa kita kosong, hampa, tak berisi. Semoga. Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H