Adapun shaum khusus al-khusus, adalah puasa kalbu dengan menjaganya dari pengaruh negatif atau merendahkan martabat kemanusiaan dan pikiran-pikiran yang bersifat duniawi.Â
Puasa seperti ini hanya bertumpu dan memfokuskan diri kepada Allah. Hati hanya mengharap keridhaan Allah semata. Berpuasa yang lebih bersifat esoterik dan metafisik.Â
Terbebaskan dari kebutuhan dan kecenderungan duniawi dan bersifat eksoterik. Puasa seperti ini maqamnya (levelnya) para Nabi dan para sufi. (Lihat, Al-Imam Abi Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid 1, Daar El-Hadis, Kairo, h. 307).
Dalam bahasa Jawa, ada ungkapan, "Ojo nganti pasamu gabuk!" Jangan sampai puasamu hampa, kosong, tak berisi. Ibarat menanam padi, ketika panen raya, kita menghasilkan bulir-bulir padi yang berisi (beuneur, bahasa Sunda artinya berisi), Bulir-bulir padi yang berbobot dan bernas.
Artinya, dengan berpuasa, kita sebenarnya kembali menyemai, menanam, memupuk, menyirami, merawat kesadaran kita untuk senantiasa mendekatkan diri (muqarabah) dengan Tuhan, sehingga kita merasakan Tuhan begitu dekat dengan kita.Â
Pada gilirannya, kita pun merasakan bahwa Tuhan selalu mengawasi (muraqabah) segala tindak tanduk kita setiap saat. Itulah antara lain buah dari berpuasa.
Kalau kita terus merawat dengan baik kesadaran ini saja sepanjang hidup kita, maka takwa kepada Tuhan, menjaga marwah (martabat) sebagai manusia dan hamba-Nya yang paling mulia, yang notabene itu adalah tujuan berpuasa sudah kita raih.
Sekali lagi, kita berpuasa, mestinya tidak saja benar, tetapi juga (dituntut) beuneur, berisi dan bernas. Ojo nganti pasamu gabuk! Jangan sampai puasa kita kosong, hampa, tak berisi. Semoga. Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H