“Muhammad of Arabia ascended the highest heaven and returned. I swear by God that if I had reached that point, I should never have returned”—Syekh Abdul Quddus Gangohi (1456–1537), Sufi India
Saya awali tulisan ini dengan sebuah cerita alegoris tentang seekor lalat di sebuah bandara di Jakarta, sebut saja Bandara Soekarno-Hatta.
Terlihat seekor lalat terbang, lalu tiba-tiba hinggap di bibir cangkir kopi latte seorang penumpang yang tengah menunggu detik-detik keberangkatannya.
Ketika orang itu bergegas masuk ke pesawat terbang, lalat ini pun dengan cepat terbang dan menempel di pakaiannya, kemudian ikut terbang ke Singapura.
Syahdan, ketika pesawat ini kembali dari Singapura ke Jakarta, lalat ini pun ikut lagi. Pesawat mendarat di Jakarta. Lalat ini dengan wajah berseri-seri, buru-buru menemui lalat-lalat yang lain, teman-temannya yang masih nongkrong di bandara.
Seekor lalat ini bercerita (semacam wara-wara, pengumuman) di hadapan teman-temannya (lalat-lalat yang lain) bahwa ia baru saja kembali dari Singapura. Ia menyatakan bahwa ia sedang tidak berbohong.
Mendengar itu, lalat-lalat yang lain, teman-temannya tersebut tentu merasa heran. Mereka benar-benar tidak percaya. Mereka membantah pengakuannya. Menurut mereka bahwa itu suatu yang mustahil dan tidak masuk akal.
Pasti apa yang dikatakan lalat ini bohong. Ia mungkin bercanda. Ia sedang mimpi. Mungkin juga ia sedang mabok atau jangan-jangan lalat itu sudah gila. "Omong kosong!" meminjam frasa dalam puisi-puisi indah nan menggugah gubahan Pak Katedra hari-hari belakangan ini.
"Mana mungkin lalat mampu terbang sejauh itu dalam waktu beberapa jam. Mustahil lalat bisa terbang ke Singapura dan balik lagi ke Jakarta dalam waktu secepat itu," seru lalat-lalat itu.
Begitu kurang lebih bagaimana menggambarkan peristiwa isra mikraj dengan cara logis dan analogi lewat cerita seekor lalat. Ini diceritakan oleh Buya Hamka yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat dalam Bukunya, Meraih Cinta Ilahi: Belajar Menjadi Kekasih Allah. Pustaka IIMaN, 2008.