Prolog: Al-Muthala'ah dan Story Telling
"Al-Muthala'ah" adalah salah satu mata pelajaran yang berisi cerita fabel berbahasa Arab di pondok-pondok pesantren modern.
Ada dua katagori pondok pesantren di Indonesia: pondok pesantren tradisional dan pondok pesantren modern.Â
Pertama, pondok pesantren tradisional menggunakan sistem atau metoda pengajarannya masih berupa sorogan dan bandungan (bandongan). Tentang metoda sorogan dan bandungan, bisa dibaca sendiri di sini.
Kiai atau gurunya hanya membaca kitab kuning (kitab klasik berbahasa Arab). Sementara santri-santrinya sekadar menyimak melalui kitab masing-masing.Â
Yang diajarkan hanya pelajaran agama. Tidak ada pelajaran umum. Biasanya kegiatan belajar mengajarnya digelar di masjid atau majlis khusus semacam aula. Santri-santrinya (biasanya) berpeci dan sarungan
Kedua, pondok pesantren modern sudah menggunakan sistem belajar mengajarnya sama seperti sekolah pada umumnya. Kegiatan belajar mengajarnya dilaksanakan di kelas.Â
Di samping pelajaran agama, ada pelajaran umumnya. Santri-santrinya wajib memakai pakaian seragam yang sudah ditentukan oleh pondok pesantren.
Kembali ke mata pelajaran Al-Muthalaah, yang juga berarti telaah. Mata pelajaran ini sejatinya bertujuan untuk meningkatkan penguasaan, kemampuan, dan keterampilan santri dalam berbahasa Arab, baik lisan maupun tulisan.Â
Santri akan diminta oleh guru atau ustaznya untuk menceritakan kembali (takallum, talking, atau story telling) di depan kelas dengan tetap menggunakan bahasa Arab, dan mengembangkannya lewat narasi dan imajinasi sendiri (tidak boleh text book).Â
Di samping itu, lewat cerita fabel itu, tujuannya adalah memberikan pendidikan karakter dan pelajaran moral bagi santri.Â
Santri harus bisa, kalau tidak atau belum bisa, maka risikonya santri tersebut harus siap menerima setrap atau sanksi berdiri di sudut depan kelas, membawa buku teks, dan disuruh oleh gurunya untuk membaca ulang atau mempelajarinya kembali.
Nah, salah satu cerita fabel yang saya ingat berjudul "Singa dan Tikus" (al-Asadu wa al-Fa′ru).
Cerita Fabel: Singa dan Tikus
Singa, si raja hutan sedang tidur. Sontak tikus merayap di atas kepala singa. Singa terbangun. Sudah pasti ia marah pada tikus. Bahkan tikus nyaris dibunuhnya.
Tikus menangis sambil mengiba. Singa terenyuh dan merasa kasihan pada tikus. Singa berlalu dan meninggalkan tikus. Tikus yang bernasib baik dan beruntung.
Di lain waktu, singa teperangkap jaring yang sengaja dipasang oleh seorang pemburu untuk menjeratnya. Singa mengaum. Meronta-ronta untuk melepaskan dirimya dari jerat jaring.Â
Hatta, ia merasa kewalahan. Gagal untuk keluar dari jaring. Ia cuma bisa mengaum, seakan-akan ia mengiba pertolongan.
Saat itulah tikus yang beruntung dan bernasib baik itu mendengar auman singa. Segera ia beranjak untuk menolong singa.Â
Dengan giginya yang tajam, tikus gigih berusaha merobek jaring itu. Sampai ia bisa merobeknya. Akhirnya, singa lepas bebas dari jerat jaring itu.Â
Singa sangat berterima kasih atas pertolongan tikus. Ia merasa takjub, bahwa tikus, hewan sekecil itu bisa melakukannya.Â
 "Ternyata, kamu hebat tikus. Kamu bisa melakukan yang aku tidak bisa melakukannya. Padahal aku meremehkan dan memandangmu sebelah mata selama ini," kata singa.Â
Tikus berkata, "Makanya, janganlah sekali-kali menghina dan memandang sebelah mata siapa pun atau apa pun. (Ingatlah) setiap orang (sesuatu) itu memiliki kelebihan masing-masing."
Epilog: Jangan Selalu Mendongak, Merunduklah
Dari cerita fabel "Singa dan Tikus" ini, kita bisa becermin, bahwa siapa pun harus bersikap rendah hati. Tidak boleh takabur dan arogan.Â
Merasa adigang, adigung, adiguna. Ingat, di atas langit-langit masih ada cecak dong...eh di atas langit masih ada langit ding. Dus, ojo dumeh. Sebaiknya, jangan selalu mendongak, merunduklah seperti padi.
Telaah kembali narasi tikus (bukan tikus-tikus kantor, sangat menyebalkan, tapi dua-duanya sih) tadi kepada singa.
"La tahtaqir man duunaka falikulli syai-in maziyyah—Janganlah kamu menghina dan merendahkan orang lain, (ingatlah) setiap orang (sesuatu) itu memiliki kelebihan masing-masing."Â
Demikian, semoga kita bisa sering becermin. Dan berharap, asal tidak sampai terjadi "buruk muka, cermin dibelah" saja. Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H