Bukankah sejatinya, menulis itu tidak sekadar menulis, tetapi menulis adalah proses pengejewantahan rekam jejak dan perjalanan panjang kita dalam realitas cinta dan keabadian?
Menulis itu adalah cinta dan keabadian. Rekam jejaknya tak akan terhapus dan terus hidup abadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Pramoedya Ananta Toer pun mengatakan seperti itu, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Menulislah dalam ketulusan dan kejujuran nurani untuk menebar kebaikan, dan selalu membumikan pesan spiritual dan kemanusiaan dalam rangka merefleksikan rekam jejak yang baik.
"Bahwa sesungguhnya (keberadaan) manusia itu adalah buah bibir dari rekam jejaknya, maka jadilah engkau buah bibir dari rekam jejakmu yang baik bagi khalayak," demikian (terjemahan) pepatah Arab—Mahfuzat.
Itulah antara lain yang selalu diajarkan oleh Abah Tjip dan Ibu Rose (kebiasaan saya menyapa Bapak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina Tjiptadinata) selama ini di Kompasiana, rumah literasi bersama.
Sisi lain dari Abah Tjip dan Ibu Rose yang menarik, sangat penting, dan menginspirasi saya untuk terus belajar, adalah semangat yang luar biasa dan konsistensinya (istikamah) dalam menulis dan berkarya. Hampir tidak pernah absen menganggit minimal satu atau dua tulisan saban hari.
Jujur, saya salut dan takzim kepada keduanya yang notabene sekarang usianya sudah menginjak kepala tujuh, sepantar (sebaya) dengan Abah dan Ibu saya.Â
Saya saja mendaku kalah, dan sering malu hati dengan semangat, kegigihan, dan konsistensinya untuk mengukir kata dan mengikat makna dalam tulisan yang inspiratif. Inilah kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangan suami istri yang selalu romantis ini.
Satu hal lagi yang saya kagumi dan patut belajar dari Abah Tjip dan Ibu Rose adalah sikapnya yang menembus batas (passing over) dari sekat-sekat primordialisme: suku, agama, ras, etnis, tradisi (budaya), bahasa, dan seterusnya.