Januari 2021 ini adalah dimulainya proses kembali belajar bagi anak-anak kita yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah.Â
Ada yang masih dalam proses Pembelajaran Jauh Jauh (PJJ) atau sistem belajar daring. Ada juga yang sudah menjalani proses belajar mengajar melalui tatap muka atau sistem belajar luring.
Bagi orang tua, tak terkecuali saya, saat-saat seperti ini bak drama yang sangat menegangkan dan memacu adrenalin. Menguras energi, pikiran dan perasaan. Campur aduk dan tumplak menjadi satu kulah meruah penuh keluh yang bisa menjadi kilah untuk mengelah lewat sekadar kisah remah temeh dan receh ini.
Tapi, walaupun demikian, sebagai orang tua, tentu sudah menyadari sedari awal bahwa ini adalah proses panjang perjalanan dari tanggung jawab, amanah, dan risiko yang otomatis harus diemban dan dilalui dengan rileks dan tenang.Â
Itu semua anggap saja sebagai sebuah tantangan yang menuntut ikhtiar dan kerja keras yang harus dilakukan.
Maklum saja, saya adalah orang tua dari empat orang anak. Semuanya masih duduk di bangku sekolah atau kuliah. Yang pertama dan kedua tengah kuliah—alhamdulillahnya—di salah satu perguruan tinggi negeri, di Bandung dan Semarang.
Sedangkan, anak saya yang ketiga dan keempat, kedua-duanya masih sekolah di SMA swasta (semacam boarding school atau pondok pesantren) dan SD swasta. Mengikuti jejak kedua kakaknya yang dulu juga memang sekolah SD s.d. SMA swasta.
Tidak usah dibayangkan bagaimanavrepotnya saya jika datang tahun ajaran baru atau proses kembali belajar setelah musim liburan sekolah. Karena otomatis memang repot sebagai orang tua. Utamanya, tidak lain dan tidak bukan, tentu berkaitan dengan kesiapan dana pendidikan anak.
Kalau seperti orang tua lain yang memang berada, dan dana pendidikan anak-anaknya sudah bukan masalah pelik, karena sudah menyiapkan tabungan dana pendidikan anak sejak awal.
Sementara saya, tidak. Di mana datang tahun ajaran baru, di situ dana atau biaya pendidikan anak harus ada. Bagaimanapun dan dari mana pun datangnya. Asal ada, halal, dan kalau bisa tidak mengutang sana sini. Modalnya adalah modal yakin (sebenarnya cenderung nekat dan spekulatif).Â
Dalam hal berkaitan dengan rezeki atau soal ekonomi keluarga, saya kelihatannya memang masih menganut keyakinan dan konsep jadul dan tradisional.Â