Tak ada seorang pun yang menginginkan tertimpa kemalangan, atau musibah berupa bencana alam. Semua orang pasti ingin selamat dan terhindar dari berbagai bencana.
Tapi takdir berbicara lain. Nyatanya tidak sedikit saudara-saudara kita di pelosok antero negeri kita ini mengalami berbagai musibah berupa bencana alam.Â
Indonesia memang negeri yang rawan dan sering diterpa bencana alam. Banjir bandang, longsor, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan sebagainya, acap melanda negeri kita tercinta ini.Â
Menurut para ahli geologi, Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng ini akan bergeser patah (diakibatkan pergerakan lava di perut bumi) menimbulkan gempa bumi.
Jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat menimbulkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.
Contoh terbaru dan masih membekas di ingatan kita adalah bencana alam yang menimpa Kabupaten Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat, yang diguncang gempa berkekuatan magnitudo 6,2 pada Jumat (15/01/2021), banjir besar di Kalimantan Selatan (12-13/01/2021), longsor di Sumedang Jawa Barat, dan banjir bandang di Cisarua Bogor.
Mitigasi bencana adalah hal yang sangat penting dalam meminimalisasi korban bencana alam. Jangan sampai kita kerap sibuk menghitung berapa angka korban setiap kali bencana datang.Â
Bencana cepat datang berulang, lalu cepat pula berlalu. Dan sayangnya cepat juga dilupakan dan tak jarang luput untuk dipetik pelajaran dan pengalaman, bagaimana sebaiknya dan apa solusi signifikan dalam rangka mengantisipasi dan merespons bencana alam yang akan dan sudah kadung terjadi dengan proses mitigasi yang efektif dan efesien.
Jadi, masalah mitigasi bencana adalah masalah yang krusial, klasik dan klise, selalu terulang, dan melulu menjadi pekerjaan rumah di setiap kali bencana alam datang. Artinya, bahwa masalahnya bertumpu pada bagaimana kesiapan kita dan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi dan mengatasi bencana alam ketika terjadi.
Evakuasi korban ke lokasi pengungsian yang relatif aman dari terjangan bencana, baik itu sebagai respons sebelum maupun solusi setelah bencana terjadi adalah kerja sosial dan kemanusiaan yang mulia dan sangat penting.
Ini adalah pekerjaan semua pihak, tidak saja aparat pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang memiliki tugas dan kewenangan, tapi juga segenap masyarakat, ormas-ormas, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat saling bahu-membahu berperan aktif dalam proses mitigasi bencana.
Salah satu mitigasi bencana yang perlu menjadi perhatian serius adalah evakuasi warga masyarakat, penyintas bencana ke lokasi pengungsian yang memadai, representatif, dan mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan.
Lamanya waktu bagi warga masyarakat korban bencana berada di lokasi pengungsian tentu dapat diperhitungkan dan dikalkulasi. Bisa berhari-hari, beminggu-minggu, atau berbulan-bulan; tergantung parah dan tidaknya dampak bencana terhadap kerusakan lingkungan dan rumah tempat tinggal mereka.
Lokasi pengungsian juga harus dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas bagi warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari selama berada di pengungsian. Posko kesehatan, posko keamanan, fasilitas tidur, dapur umum, sanitasi atau fasilitas MCK (mandi, cuci dan kakus), dan ruang laktasi atau ruang khusus bagi ibu menyusui harus menjadi prioritas dan tersedia.
Bahkan ternyata di lokasi pengungsian itu juga perlu dipikirkan kebutuhan lain yang bukan saja berkaitan dengan kebutuhan lahiriah tadi, tetapi juga kebutuhan batiniah atau kebutuhan biologis.Â
Maka perlu disediakan juga ruang khusus bagi pasangan suami istri yang ingin "begituan" atau sering disebut 'bilik asmara" atau "bilik ayah bunda".
Hal ini berkaca pada pengalaman dari beberapa bencana alam yang pernah terjadi, di mana para penyintas atau korban bencana alam tinggal di lokasi pengungsian berbulan-bulan, sementara kebutuhan biologis pasangan suami istri, apalagi pengantin baru, ternyata tidak mereda dengan adanya bencana.
Agar tidak menimbulkan stres dan meredakan gejolak hasrat seksual yang menggebu-gebu, maka harus disalurkan sebagaimana mestinya.
Tidak sedikit cerita dan pengakuan dari pasangan suami istri di lokasi pengungsian merasa kesulitan ketika muncul hasrat seksual itu. Bahkan, ada yang bela-belain pergi ke daerah aman bencana atau kota terdekat untuk menyewa penginapan.
Logikanya, atau mungkin muncul pertanyaan di benak kita sambil berseloroh, bagaimana mungkin orang-orang itu sebagai korban bencana masih juga sempat-sempatnya tebersit pikiran porno dan hasrat untuk melakukan hubungan seksual dalam situasi darurat, saat terkena bencana, dan tinggal di lokasi pengungsian pula.
Maka, pertanyaannya adalah, masih pentingkah "bilik asmara" di lokasi pengungsian bencana alam itu?Â
Tapi bagaimanapun realitasnya seperti itu di saat bencana terjadi dan korban bencana berada di lokasi pengungsian dalam rentang waktu yang lama, dan sekian bulan menunggu selesainya proses perbaikan lingkungan dan renovasi tempat tinggal yang rusak akibat bencana.
Ini bukan mengada-ada. Ini adalah realitas yang terjadi di lokasi pengungsian. Silakan baca hasil liputan jurnalis Kompas.com di lokasi pengungsian ketika gempa terjadi di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah pada 2019 yang lalu.Â
Ini benar-benar terjadi. Kita tidak perlu menggeleng-gelengkan kepala sebagai isyarat tidak habis pikir, sambil bergumam, "Gila!". Tapi yang jelas memang tidak mungkin "bilik asmara" disediakan, jika tidak ada keresahan dan permintaan dari para korban bencana.
Ini buktinya: Â Sulitnya Pengungsi Bercinta di Lokasi Pengungsian, Sewa Penginapan hingga Minta Bilik AsmaraÂ
Maka, "bilik asmara" adalah solusi efektif dan alternatif kemanusiaan bagi pasangan suami istri, penyintas bencana dalam memenuhi kebutuhan seksualnya yang menggebu dan takbisa ditunda-tunda itu di lokasi pengungsian bencana.Â
Artinya, jangan sampai terjadi "bencana baru" yang muncul dari pasangan suami istri yang masih hot dan hasrat seksualnya tinggi, berupa penyakit uring-uringan, sakit kepala tidak jelas, stres, kesepian, disorientasi, dan gangguan-gangguan lain, baik fisik maupun psikologis, gara-gara tidak difasilitasi di lokasi pengungsian.
Inilah yang terjadi saat bencana gempa bumi di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah tahun 2019, Kabupaten Maluku Tengah tahun 2019, dan langkah antisipasi dari pemerintah provinsi DI Yogyakarta ketika terjadi erupsi Gunung Merapi dalam status siaga pada bulan Nopember dan Desember 2020 yang lalu.
Pantas, ada yang bilang, bahwa tidak saja menulis sebagai terapi kesehatan, tapi hubungan seksual (sebagai suami istri yang sah) juga adalah terapi kesehatan. Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H