Terlihat dari syarat yang ia ajukan pada Presiden Jokowi, walaupun ia mau menerima jabatan utusan khusus itu. Ia meminta peran jabatan utusan khusus ini benar-benar difungsikan, membiarkan dirinya tetap kritis terhadap pemerintah, dan tidak digaji.
Ketika ia menjabat utusan khusus Presiden ini, atas gagasannya, pernah digelar Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendikiawan Muslim se-Dunia, Islam Wasathiyah untuk Peradaban Dunia di Istana Bogor (01/05/2018).
Sebuah pertemuan internasioanl untuk meneguhkan kembali Islam moderat, Islam untuk perdamaian dan peradaban dunia, Islam yang menebarkan kasih sayang dan rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi sarwa semesta). Pertemuan ini dihadiri seratusan ulama dan cendikiawan muslim se-dunia.Â
Namun, entah kenapa, mungkin karena sikap kritisnya, selalu berseberangan dengan sikap pemerintah, dan Din sendiri sebagai tokoh agama ingin tetap netral dan tak berpihak kepada salah satu kubu di pilpres 2019 saat itu, maka ia memiilih untuk mengundurkan diri dari jabatan utusan khusus Presiden ini pada 21 September 2018.
Nyatanya dari situ, Din Syamsuddin semakin bebas dan sering memperlihatkan sikap kritisnya terhadap sikap dan kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi.Â
Bahkan, sikap Din Syamsuddin semakin meradang. Itu ia perlihatkan dengan mendeklarasikan sebuah forum atau ormas bernama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama tokoh-tokoh lain yang diklaim banyak orang sebagai barisan atau koalisi orang sakit hati.
Tentu saja, ia membantahnya dengan menyatakan bahwa KAMI adalah gerakan moral politik dengan terus melakukan kritik terhadap kebijakan dan kerja pemerintah. KAMI bukan untuk menimbulkan instabilitas negara. Tapi jangan-jangan justru karena pemerintahan ini saja yang anti kritik. Begitu bantah Din.
Demonstrasi anarkistis menolak UU Cipta Kerja, kasus penangkapan dan penahanan beberapa aktivis KAMI oleh pihak kepolisian pasca demonstrasi anarkistis itu adalah realitas yang semakin memperuncing keadaan dan membuat kegaduhan yang seakan-akan menggambarkan fenomena kontestasi politik: Pemerintahan Jokowi versus KAMI.
Akhirnya, menurut hemat saya, Din Syamsuddin dan KAMI bukan sekadar gerakan moral politik, tapi sudah benar-benar sebagai gerakan politik. Tidak lebih.
KAMI, dan Din Syamsuddin seolah-olah tengah melakukan adegan foreplay persetubuhan politik dengan penuh sensasi dan fantasi politik menuju klimaks 2024.
Dua aktor utama presidium KAMI, Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo terus diberi ruang dan panggung mengekspresikan peran horornya dalam meraih citra atau politik pencitraan untuk menunculkan opini "playing the victim" dalam rangka memudahkan jalan ke RI 1 atau RI 2.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!