Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Din Syamsuddin dan Barisan Orang yang Sakit Hati

17 Oktober 2020   14:39 Diperbarui: 19 Oktober 2020   06:21 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO

Usai salat tarawih, dalam cara ramah-tamah, Din Syamsuddin, Taufik Kiemas, Sekjen PDIP saat itu, Pramono Anung, dan beberapa orang kader PDIP berdiskusi panjang soal kebutuhan mencairkan ketegangan kubu nasionalis dan Islam. Muncullah ide pembentukan Bamusi itu.

Di balik ide stategis itu tentu terselip muatan politik. Keberadaan Bamusi diharapkan dapat menaikkan elektabilitas PDIP dalam pemilu dengan meraup suara dari pemilih muslim.

Din Syamsuddin pun diketahui aktif di berbagai forum muslim internasional. Mulai dari Indonesian Committee on Religions for Peace (IComRP), lalu sebagai Honorary President pada World Conference on Religions for Peace (WCRP), chairman World Peace Forum (WPF), Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), dan sebagainya.

Presiden Joko Widodo pada 2017 menunjuk Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban. Awalnya sempat menolak, Din pun menyanggupinya.

Din Syamsuddin adalah salah seorang tokoh yang selalu melontarkan kritik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Dari kebijakan regulasi penanganan percepatan Covid-19, soal iuran BPJS, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), termasuk Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja yang terus kontoversial, bahkan ketika sudah diketok palu pun oleh DPR.

Di tengah pandemi, tanggal 18 Agustus 2020 yang lalu, di lapangan Tugu Proklamasi Jakarta Pusat, Din Syamsuddin bersama mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, politikus Ahmad Yani, Pakar Hukum Tata Negara Raply Harun, mantan staf ahli Menteri BUMN Said Didu, dan tokoh-tokoh yang lain, mendeklarasikan ormas bernama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), sebagai gerakan moral politilk kontra pemerintah. 

Di mana ada kebobrokan politik, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial, maka di situ, KAMI akan lantang bersuara. Begitu pernyataan Din Syamsuddin, ketika menampik tuduhan publik yang menengarai bahwa, KAMI adalah barisan orang yang sakit hati, yang kalah di kontestasi pilpres 2019, dan orang-orang yang terbuang.

Sesungguhnya wajar ada yang menyebut bahwa KAMI adalah barisan orang kalah dan sakit hati dalam percaturan politik di era pemerintahan Jokowi, seperti penilaian seorang politikus PKB Abdul Kadir Karding.

Karena dilihat dari rekam jejak para tokoh yang mendeklarasikan KAMI itu hampir semuanya memiliki masalah dan kekecewaan politik pada pemerintahan Jokowi.

Yang jelas, masih gaib, mau ke mana arah politik KAMI sebenarnya, apakah ia sekadar sebuah gerakan moral politik an sich, yang kerjanya cuma melontarkan kritik dan penyeimbang pemerintahan Jokowi?

Ataukah ada hasrat kekuasaan dengan gerakan ancang-ancang (pemanasan) jauh-jauh hari menyongsong suksesi pilpres 2024 nanti dengan mengusung salah seorang tokoh KAMI ini, Din Syamsuddin atau Gatot Nurmantyo, sebagai capres atau cawapres, misalnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun