Muhammad Sirajuddin Syamsuddin atau kerap dipanggil Din Syamsuddin ini lahir di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, yang sebelum studi S1 di IAIN Jakarta adalah alumnus Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo.
Di IAIN, ia mengambil jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin. Setelah lulus S1, ia diangkat menjadi dosen IAIN Jakarta. Lalu melanjutkan S2 dan S3 di University of California Los Angeles Amerika Serikat
Lulus S3 dari UCLA, Din Syamsuddin kembali mengabdi sebagai dosen di almamater pada sekolah pasca sarjana IAIN Jakarta. Dan sampai sekarang ia masih sebagai guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia pernah menjadi Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), juga pernah sebagai Ketua PP Pemuda Muhammadiyah. Selanjutnya, berturut-turut dua periode ( 2005 - 2010/2010-2015), Din Syamsuddin didapuk menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.Â
Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua MUI Pusat. Bahkan, ia pernah menjadi Ketua Umum MUI Pusat (2014) menggantikan KH. Sahal Mahfudz karena saat itu meninggal, sebelum KH. Ma'ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI Pusat (2015). Ia juga pernah manjadi Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI Pusat.
Dalam politik praktis, sebelum era reformasi, Din Syamsuddin adalah pengurus Golkar. Ia pernah menjabat Ketua Departemen Litbang Golkar dan menjadi anggota MPR.
Penampilannya yang modis, rapi, dan ramah. Bicaranya yang lemah lembut, sistematis, rasional, dan mudah dicerna. Wawasannya yang luas dan mumpuni khususnya dalam pemikiran politik (Islam), perkembangan dunia Islam, dan pemikiran keislaman.
Dengan latar belakang Muhammadiyah, sikap keberagamaan dan pemikiran keislaman Din Syamsuddin lebih pada Islam moderat dan insklusif. Tak heran, ia sangat disukai dan diterima di berbagai kalangan.
Ketika Din Syansuddin menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, ada hal menarik dari kiprah Din Syamsuddin dalam dunia politik tanah air adalah keterlibatannya dalam menggagas pembentukan organisasi sayap PDIP yang bernuansa Islam yaitu Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).
Din Syamsuddin dan Taufik Kiemas merupakan dua aktor penting pembentukan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) di tubuh PDIP. Â
Semua berawal dari acara buka puasa dan tarawih bersama di kediaman pribadi Megawati di Kebagusan, Jakarta Selatan, pada hari kedua Ramadan, September 2006. Din Syamsuddin didaulat menjadi penceramah usai salat tarawih malam itu.Â
Usai salat tarawih, dalam cara ramah-tamah, Din Syamsuddin, Taufik Kiemas, Sekjen PDIP saat itu, Pramono Anung, dan beberapa orang kader PDIP berdiskusi panjang soal kebutuhan mencairkan ketegangan kubu nasionalis dan Islam. Muncullah ide pembentukan Bamusi itu.
Di balik ide stategis itu tentu terselip muatan politik. Keberadaan Bamusi diharapkan dapat menaikkan elektabilitas PDIP dalam pemilu dengan meraup suara dari pemilih muslim.
Din Syamsuddin pun diketahui aktif di berbagai forum muslim internasional. Mulai dari Indonesian Committee on Religions for Peace (IComRP), lalu sebagai Honorary President pada World Conference on Religions for Peace (WCRP), chairman World Peace Forum (WPF), Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), dan sebagainya.
Presiden Joko Widodo pada 2017 menunjuk Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama dan Peradaban. Awalnya sempat menolak, Din pun menyanggupinya.
Din Syamsuddin adalah salah seorang tokoh yang selalu melontarkan kritik terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Dari kebijakan regulasi penanganan percepatan Covid-19, soal iuran BPJS, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), termasuk Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja yang terus kontoversial, bahkan ketika sudah diketok palu pun oleh DPR.
Di tengah pandemi, tanggal 18 Agustus 2020 yang lalu, di lapangan Tugu Proklamasi Jakarta Pusat, Din Syamsuddin bersama mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, politikus Ahmad Yani, Pakar Hukum Tata Negara Raply Harun, mantan staf ahli Menteri BUMN Said Didu, dan tokoh-tokoh yang lain, mendeklarasikan ormas bernama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), sebagai gerakan moral politilk kontra pemerintah.Â
Di mana ada kebobrokan politik, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial, maka di situ, KAMI akan lantang bersuara. Begitu pernyataan Din Syamsuddin, ketika menampik tuduhan publik yang menengarai bahwa, KAMI adalah barisan orang yang sakit hati, yang kalah di kontestasi pilpres 2019, dan orang-orang yang terbuang.
Sesungguhnya wajar ada yang menyebut bahwa KAMI adalah barisan orang kalah dan sakit hati dalam percaturan politik di era pemerintahan Jokowi, seperti penilaian seorang politikus PKB Abdul Kadir Karding.
Karena dilihat dari rekam jejak para tokoh yang mendeklarasikan KAMI itu hampir semuanya memiliki masalah dan kekecewaan politik pada pemerintahan Jokowi.
Yang jelas, masih gaib, mau ke mana arah politik KAMI sebenarnya, apakah ia sekadar sebuah gerakan moral politik an sich, yang kerjanya cuma melontarkan kritik dan penyeimbang pemerintahan Jokowi?
Ataukah ada hasrat kekuasaan dengan gerakan ancang-ancang (pemanasan) jauh-jauh hari menyongsong suksesi pilpres 2024 nanti dengan mengusung salah seorang tokoh KAMI ini, Din Syamsuddin atau Gatot Nurmantyo, sebagai capres atau cawapres, misalnya?
Jika begitu, apakah KAMI akan menjelma sebagai partai politik karena kebutuhan pokok konstitusional akan kendaraan politik, atau KAMI akan menumpang pada kendaraan partai politik yang sudah ada? Atau ia sekadar begitu-begitu saja, bikin kegaduhan politik kayak begini?
Entah. Namanya juga masih gaib. Apalagi, takada yang tidak mungkin dalam politik. Saya tidak berani menerka dan berbanyak kata terlalu jauh tentang KAMI ini, lebih-lebih di hari-hari belakangan ini.Â
Bicara soal KAMI adalah sangat sensitif karena ada beberapa orang pentolan KAMI yang dimintai keterangan (ditangkap) oleh polisi terkait demonstrasi anarkistis UU Cipta Kerja yang lalu. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H