Fenomena seperti ini sering terjadi. Khususnya yang berkaitan dengan hobi. Tanaman hias, ikan hias, batu giok, bersepeda, main layangan, dan seterusnya. Namun, fenomena mencuatnya usaha-usaha berupa hobi-hobi itu hilang begitu saja seiring waktu berjalan. Biasa, musiman.Â
Saya misalnya sampai sekarang masih pakai batu bacan, dan punya tanaman hias yang bernama gelombang cinta (Anthurium plowmanii croat). Buktinya, sekarang biasa-biasa saja itu.
Sebenarnya indah, tapi tidak ada harganya sama sekali dibanding awal-awal selagi naik daun dan booming saat itu.
Hebohlah dunia usaha tanaman hias. Orang-orang berlomba-lomba berburu, menjual, dan membudidayakan tanaman hias yang satu ini.
Makanya, mudah-mudahan saja, frasa "janda bolong" ini tidak terdengar oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sehingga nasibnya tak semalang dengan kata "anjay" yang dilarang penggunaannya, dan ditengarai ancaman pidana segala.Â
Kasihan tukang tanaman hias dalam mengais rezeki di saat-saat susah pada era pandemi seperti ini. Karena mereka tampaknya akan tetap menyebut tanaman hias ini dengan janda bolong ketimbang bahasa Latinnya yang ribet pelafalannya di lidah. Dan kayaknya nama itu lebih punya nilai jual.
Janda bolong tentu saja berbeda dengan gelombang cinta. Jenis dan bentuknya lain. Kalau gelombang cinta, daunnya lebih besar, lebar, dan panjang-panjang ketimbang janda bolong.
Yang pasti, kenapa tanaman hias ini populer namanya dengan janda bolong, sangat memesona, dan harganya melambung. Karena memiliki daun yang bolong-bolong atau berlubang-lubang.Â
Daunnya yang bolong atau berlubang itu bukan karena penyakit, digigit ulat, atau serangga/hama. Tapi bolongnya adalah otentik. Asli dari sononya memang sudah bolong. Bukan dibuat-buat.