Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jika Sekadar Berdoa kepada Allah, Kenapa Mesti Jauh-jauh ke Makkah?

27 Juli 2020   07:28 Diperbarui: 31 Juli 2020   07:16 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibadah haji (SHUTTERSTOCK.COM)

Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material, membuang uang kecil dan dosa besar.

Lalu pulang membawa label suci asli made in saudi "HAJI" | Larik dalam puisi Gus Mus (KH A Mustofa Bisri), berjudul, "Selamat Tahun Baru, Kawan".

Wabah ini kelihatannya masih betah. Tapi setidaknya menjadi pelajaran moral bagi semuanya. Bahwa kuasa Tuhan di atas kuasa segalanya.

Orang bukan tidak boleh berencana dan berikhtiar, tetapi bagaimanapun tetap Tuhan yang menentukan pada akhirnya.

Orang boleh bermimpi setinggi langit. Tapi jangan lupakan bumi tempat kaki berpijak. Tolok ukurnya kenyataan.

Ingat peristiwa isra mikraj. Nabi pernah naik jauh sampai ke langit ketujuh, bahkan lebih, hingga ke Sidratul Muntaha, tapi bukankah Nabi tetap kembali turun ke bumi?

Tentang hal ini, sampai-sampai muncul kecemburuan seorang sufi berasal dari India, Syekh Abdul Quddus Gangohi, dan berkomentar, "Demi Allah, jika aku yang mengalami seperti yang dialami Nabi Muhammad pada isra mikraj, maka aku tidak akan pernah mau kembali turun ke bumi."

Pandemi Covid-19, Kenyataan dan Pelajaran
Akankah wabah ini menggugah dan menyadarkan kita akan kelemahan sehingga tidak bersikap pongah dan serakah?

Akankah pandemi ini mengantarkan kita becermin dan wawas diri untuk tidak selalu merasa paling ini, paling itu dan paling segalanya?

Ini salah satunya. Sekalipun sudah jauh-jauh hari direncanakan dengan matang, tapi kenyataan berbicara lain, tahun ini calon jemaah haji Indonesia urung berangkat ke tanah suci, karena masih dalam keadaan kahar pandemi Covid-19.

Sangat bijak pemerintah mengambil langkah kebijakan ini. Selaras dengan kebijakan yang diambil pemerintah kerajaan Arab Saudi.

Hanya bagi warga Arab Saudi dan ekspatriat atau warga negara asing yang bermukim (bertempat tinggal) di sana yang boleh menunaikan ibadah haji. Itu pun dibatasi, dan harus mematuhi protokol kesehatan Covid-19 secara ketat.

Ibadah haji berbeda dan istimewa dengan ibadah-ibadah yang lain dalam pelaksanaannya. Dari segi lokasinya saja harus di Makkah.

Ibadah haji itu bersyarat. Hanya bagi yang mampu saja. Mampu secara ekonomi, kesehatan, dan keamanan yang wajib menunaikan rukun Islam kelima ini.

Masalahnya, mengapa ibadah haji menjadi magnet yang membetot gairah dan antusiasme bagi setiap muslim untuk menunaikannya?

Hampir dipastikan setiap orang Islam selalu pengin dan bermimpi untuk berhaji.

Orang rela menabung bertahun-tahun demi yang satu ini, berangkat ke tanah suci.

Orang tak peduli mengantre berlama-lama hingga puluhan tahun karena panjangnya daftar tunggu untuk bisa menunaikan ibadah haji.

Realitas antusiasme dan semangat beragama umat Islam begitu besar untuk berangkat haji. Lantas, ada apa sebenarnya dengan ibadah haji ini?

Kalau dipikir-pikir, hampir serangkaian manasik dan ritual haji berisi doa-doa kepada Allah. Tapi, kenapa sekadar untuk berdoa kepada Allah, kok mesti jauh-jauh pergi ke tanah suci, Makkah?

Bukankah di sini juga, kita bisa berdoa kepada Allah, dan nggak harus lewat ibadah haji? Apakah memang Allah tidak mendengar doa kita di sini? Jadi, apa sesungguhnya motif orang beribadah haji?

Jawaban spontannya, ya harus di Makkah, memangnya ibadah haji bisa dilaksanakan di Pondok Gede gitu? Semua orang juga tahu, benar di situ memang ada Ka'bah. Cuma replika. 

Normatifnya, karena ibadah haji adalah perintah Allah. Rukun Islam ke-5. Alasannya jelas, adalah motif agama. Itu tidak ada yang memungkiri. Benar, semua sepakat.

Kalau hanya jawaban seperti itu, maka logikanya, bukankah semua ibadah, bukan haji saja, adalah perintah Allah, seperti salat, puasa, zakat, dan lain-lain?

Autokritik atas Motif Negatif Oknum Beragama
Jika ada motif-motif lain, selain perintah Allah (motif agama), maka itu cenderung adalah ekses negatif dan perilaku tak terpuji dari orang (oknum) beragama.

Sebut saja, misalnya, karena berhaji itu sebuah prestise, simbol status sosial, berburu huruf "H", sekadar tamasya dan jalan-jalan, bukan untuk meraih haji mabrur, tapi justru haji (ta)kabur, demi meraup keuntungan finansial dari momen ritual wajib setahun sekali ini, dan seterusnya, sebagai motif-motif negatif dan tidak terpuji lainnya dalam menunaikan ibadah haji.

Kalau ini semua--niat dan motif negatif tadi--dimiliki oleh seorang jemaah haji, maka muspra dan sia-sialah ibadah hajinya.

Menarik autokritik Gus Mus (KH. A Mustofa Bisri) atas fenomena ritual haji ini lewat larik dalam salah satu puisinya berjudul, "Selamat Tahun Baru, Kawan".

Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material, membuang uang kecil dan dosa besar.

Lalu pulang membawa label suci asli made in saudi "HAJI" | Larik dalam puisi Gus Mus (KH. A Mustofa Bisri), berjudul, "Selamat Tahun Baru, Kawan".

Sungguh disayangkan, kenapa berdoa kepada Allah saja mesti pergi jauh-jauh ke Makkah, berpakaian ihram, tawaf mengitari Ka'bah, sai dari Safa ke Marwah, wukuf di Arafah, dan manasik haji lainnya, jika pada akhirnya sekadar fatamorgana dan sandiwara berhaji.

Bukankah haji adalah perjalanan spiritual untuk meneguhkan kesadaran bahwa hakikatnya perjalanan hidup kita menuju Allah, Yang Maha Pencipta?

Bukankah dengan berpakaian ihram serba putih tak berjahit itu, mengingatkan kita pada kematian? Bukankah hanya sehelai kain kafan yang kita kenakan saat kita diusung ke kubur?

Bukankah tidak ada yang lainnya dari apa pun secara materi, yang kita miliki di dunia ini--selain kain kafan itu--yang bisa dibawa saat kembali menghadap Allah untuk selamanya?

Bukankah sejauh apa pun perjalanan kita pada akhirnya kembali berputar kepada Asal Muasal kehidupan kita dan semesta ini, yaitu Allah, seperti layaknya jemaah haji melakukan tawaf, mengelilingi Ka'bah?

Pokoknya semua ritual dan manasik haji adalah simbol yang lebih banyak mengundang jemaah haji pada kesadaran spiritualitas yang tinggi.

Kenikmatan dan kepuasan spiritualitas itulah yang pada akhirnya akan dirasakan oleh setiap orang yang menunaikan ibadah haji.  

Tentu hanya jemaah haji sendiri secara personal dan subyektif yang merasakan kondisi kenikmatan dan kepuasan spiritualitas dalam melaksanakan ibadah haji itu.

Pengalaman spiritual seperti itu dalam ibadah haji yang mungkin sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Itulah kenapa orang selalu pengin dan rindu berdoa jauh-jauh ke tanah suci, Makkah. Berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Wallahu a'lam bi al-sawwab. Tabik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun