Dalam tradisi Islam ketika anak (jabang bayi) baru lahir, segera dikumandangkan azan di telinga kanan, dan ikamah di telinga kirinya, adalah awal pengenalan dan penanaman nilai-nilai keberagamaan pada anak.
Hal itu dimaksudkan, tidak lain, adalah jabang bayi diperdengarkan dengan suara-suara yang bernuansa agamis berupa kalimat tayibah (indah) dari nama-nama Tuhan, dan kalimat tauhid (keesaan Tuhan, Allah SWT).
Selanjutnya, tradisi ritual pemberian nama, memotong (sedikit) rambut jabang bayi, dan akikah (menyembelih kambing/domba), adalah rangkaian ritual yang sarat nilai-nilai keberagamaan yang hendak ditumbuhkan pada kejiwaan anak.
Belajar mengaji, dan mengajak anak salat berjemaah di masjid, atau salat bersama orang tuanya di rumah, juga termasuk kelanjutan proses internalisasi nilai-nilai keberagamaan dan spiritualitas pada anak.
Sampai seterusnya, anak mendapat pembiasaan dan pembelajaran akan sikap keberagamaan dari kedua orang tua dan lingkungannya, termasuk sekolah.
Menarik apa yang ditulis KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI ke-4, dalam pengantar buku Romo Y.B. Mangunwijaya, "Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak" (Gramedia Pustaka Utama, 1991), dengan merujuk hadis yang menceritakan dialog Nabi Muhammad dengan para sahabatnya tentang persoalan filosofis-teologis (keberadaan Tuhan).
Dalam sebuah riwayat diceritakan, bahwa seorang awam mendatangi Nabi Muhammad, dan bertanya, "Di mana Tuhan berada?" Nabi menjawab dengan balik bertanya, "Di mana Tuhan menurut Anda?"
Penanya tersebut, lalu menjawab, bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Nabi membenarkan ucapannya itu.
Lantas, para sahabat Nabi mempersoalkan hal itu, sepeninggalan orang tersebut. Seraya mempertanyakan, "Mengapakah Nabi mengatakan Tuhan berada di langit, nun jauh di atas, padahal bukankah Tuhan itu berada di mana saja, karena Ia tidak terikat ruang dan waktu, serta tak mengenal bentuk?"
Dijawab oleh Nabi, bahwa bagi orang tersebut, Tuhan berada di atas, dan itu sudah cukup baginya.
Menurut Gus Dur, riwayat itu menggambarkan, bahwa betapa sulitnya menerangkan hakikat agama kepada manusia. Karena perbedaan dan keterbatasan kemampuan manusia dalam menangkap dan memahami keberadaan dan kemahabesaran Tuhan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!