Tidak ingin menjadi suspeks, dikarantina, dan atau bernasib nestapa mengalami pemulasaran jenazah ala protokol kesehatan Covid-19--yang faktanya banyak ditolak dan diprotes tidak sedikit warga masyarakat itu. Asosial, dan tak punya priperjenazahan mereka itu.
Termasuk beragama. Kita beragama itu, atau secara umum hidup kita itu, sejatinya tidak boleh lari dari konteks yang menyertai dan mengitarinya.
Maka konsekuensinya, beragama itu tidak boleh rigid (kaku), hanya bertumpu pada teks (cenderung tekstual), jumud, apalagi hanya bermodal pada "katanya" ustaz google, "halunya" ustaz medsos, hanya membaca terjemahan Al-Quran an sich, bahkan, ustaz dadakan (kayak tahu bulat) yang baca Al-Quran saja masih berlepotan (berlumuran) kesalahan fatal, dan tidak fasih, tapi sudah merasa tahu segalanya, dan paling benar, paling suci dan paling (berhak) memiliki kavling di surga.
Sementara itu mengesampingkan rujukan-rujukan otoritatif (mu'tabarah), menyepekan (bahkan merisak) cendikiawan (ilmuan, tokoh) Islam otoritatif, dan jelas sanad keilmuannya, serta tidak memahami konteks (asbab al-nuzul, asbab al-wurud) teks itu berbicara.
Pemahaman, sikap, dan cara beragama sebagian (oknum) orang yang rigid, hanya berdasar emosi tanpa nalar yang sehat, dan benar (beragama tanpa ilmu) seperti inilah, akhirnya bermunculan batang hidungnya, membuat kegaduhan, dan menampar wajah beragama (Islam) kita yang moderat, ramah, dan sejuk, beragama yang rasional, dan bertumpu pada nalar (berdasar pada keilmuan), ketika wabah virus corona ini menyambangi tanah air kita.
Dalam pengamatan saya, model beragama seperti itulah yang kemudian berbuat onar dan eyel (ngeyel) dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, terkait protokol kesehatan dalam beragama dan beribadah di tengah wabah pandemi Covid-19.
Efek domino pandemi Covid-19, antara lain adalah berimbas pada pelayanan publik, misalnya pelayanan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), baik untuk penghulu atau pegawai pencatat nikah di KUA, maupun calon mempelai.
Bagi yang bekerja pada pelayanan publik, seperti penghulu atau pegawai pencatat nikah di KUA, adalah dilema. Karena di satu sisi sangat rentan terpapar virus corona, dan di sisi lain, harus tetap melayani masyarakat dengan keharusan secara ketat mengikuti protokol kesehatan, seperti jaga jarak fisik, pakai masker, dan seterusnya.
Sementara bagi penghulu sangat sulit untuk menjaga jarak fisik, bahkan harus tetap berdekatan dalam satu ruang akad nikah dengan calon mempelai dan keluargamya. Inilah dilema penghulu KUA ketika melaksanakan pelayanan nikah di tengah wabah.
Makanya, Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan yang harus dipatuhi oleh penghulu dan calon mempelai terkait protokol kesehatan dalam pelayanan nikah.
Jadi, di tengah pandemi ini, bagi yang mau nikah, atau calon mempelai tidak perlu resah, KUA tetap melayani pelaksanaan pernikahan, asal tetap mengikuti kebijakan protokol kesehatan.