Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beribadah di Tengah Wabah, dari Pelayanan Nikah, Salat Jumat, sampai Idul Fitri

2 Juli 2020   07:30 Diperbarui: 2 Juli 2020   18:12 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustraai Penghulu menyerahkan buku nikah kepada pasangan pengantin baru sesaat setelah akad nikah di tengah wabah pandemi Covid-19 | dokpri (MUIS SUNARYA)

Dalam kurun waktu hampir empat bulan terakhir ini, sejak Indonesia positif corona, saya menulis senarai esai di Kompasiana, sebagai respons atas realitas dan isu-isu yang terjadi, dan sempat viral di lini masa pada masa pandemi Covid-19, yang mewabah mendunia itu.

Hampir seluruh, setidaknya lebih dari dua ratusan, negara di dunia terpapar virus corona ini. Termasuk negara kita, Indonesia yang sampai saat ini masih terus tak pernah menyerah (ingat, bukan terserah) berusaha dengan kerja keras, dan (mestinya) cerdas menabuh genderang perang bersatu melawan "musuh" tak kasat mata, namun nyata korbannya di depan mata ini.

Berdasarkan data sebaran yang dilansir situs Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, update terakhir per tanggal 01-07-2020, menunjukkan bahwa di tingkat global (dunia) yang terpapar Covid-19 sebanyak 216 negara, terkonfirmasi 10.268.839 orang, dan yang meninggal 506.046 orang.

Sumber: covid19.go.id
Sumber: covid19.go.id
Sedangkan, di Indonesia, yang terpapar positif Covid-19 sebanyak 57.770 orang, yang sembuh 25.595 orang, dan meninggal 2.934 orang.
Sumber: covid19.go.id
Sumber: covid19.go.id
Sekadar catatan, sebagaimana dilansir Kompas.com, negeri Paman Sam, Amerika Serikat tercatat sebagai negara peringkat pertama terbanyak di dunia terkait kasus suspeks terpapar pandemi Covid-19, dengan kasus kematian melebihi 130 ribu, per tanggal 01/07/2020, sebanyak 130.096 orang yang meninggal.

Esai-esai saya ini lebih banyak memotret dan merekam realitas dan isu-isu yang muncul di lini masa dari sikap keberagamaan dan sosial kita dalam keadaan kahar pandemi Covid-19.

Dari hal-hal sederhana, soal-soal ringan, sampai merembet ke hal-hal kompleks, soal-soal yang menjelimet, filosofis-teologis, agak berat, dan bisa jadi kontroversial.

Esai-esai itu mungkin lebih banyak bersifat informatif, dan memang dengan niat ikut mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Agama di tengah pandemi.

Kementerian Agama yang nota bene institusi negara yang berada di garda depan yang memiliki tugas melaksanakan amanat negara dalam pembangunan pelayanan agama dan keagamaan, mengawal moderasi beragama, kerukunan, dan moralitas bangsa selama ini.

Khususnya dalam menghadapi wabah pandemi Covid-19, Kementerian Agama pun tetap luar biasa aktif dan responsif bekerja keras, cerdas, dan cepat dengan penuh "Ikhlas Beramal"--motto Kementerian Agama--melakukan kebijakan-kebijakan dalam ikut berperan aktif bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Tapi walaupun begitu, tidak menutup ruang untuk saya menyelipkan analisa, dan pemikiran subyektif saya--berharap obyektif--dalam melihat persoalan secara kontekstual dengan merujuk sumber-sumber bacaan otoritatif, dan pemikiran yang bisa dipercaya, sebagai bingkai referensi (frame of reference).

Maka jika ada pemikiran saya yang berbeda, dan ada yang tidak sepakat, adalah wajar, dan hitung-hitung menambah khazanah pemikiran tentang agama, keislaman, sosial, dan budaya. Bukankah, berbeda itu sunatullah?

Esai-esai yang saya tulis ini tidak banyak. Saya akui bahwa saya memang kurang begitu produktif dalam kegiatan saya menulis. Tapi lumayanlah, daripada lu manyun. Hehe...

Saya memang menulis selama ini kerap spontan ngikutin alur pemikiran dan gagasan yang suka berkelebat cepat di ruang ingatan saya yang harus secepat kilat juga saya tangkap, dan menuangkannya dalam tulisan.

Tapi bagi saya, sampai di sini pun adalah suatu pencapaian proses aktualisasi diri dalam ranah literasi yang menyenangkan dan menghibur--kayaknya jauh dari membanggakan. Nggak apa-apa, rileks, dan woles saja.

Dan insya Allah, sekalipun begitu, saya tetap semangat, dan akan terus menulis, menuangkan gagasan, mengukir kata, dan mengukur fakta, sebagai sebuah pembelajaran dari hasrat keingintahuan (curiosity) pada perkembangan pemikiran, informasi dan ilmu pengetahuan selama ini yang tak pernah padam.

Bagi saya, kebutuhan literasi, atau membaca dan menulis itu, kayak kebutuhan bersanggama saja. Perlu. Hmm...

Makanya, saya hobi belanja (beli) buku. Buku saya pabalatak (bahasa sunda artinya berantakan), dan berdesak-desakan di rak (lemari) buku. (Maaf, bukan ria, tapi sekadar tahadutsan bin ni'mah, bersyukur masih bisa beli buku).

Membacanya? Jangan ditanya. Ada yang tuntas dan habis dilahap (dibaca), dan ada juga yang baru setengah, atau baru sebatas beberapa halaman, atau hanya halaman pertama (pengantar) dan terakhir (indeks), pindah ke buku yang lain. Hehe...

Agar tidak terlalu bertele-tele, kembali ke judul. Bahwa tulisan ini adalah semacam kompilasi dari senarai esai yang sudah saya tulis sepanjang era pandemi.

Tidak banyak, sekitar 20-an esai yang saya tulis dalam merespons realitas dan isu-isu di saat pagebluk corona itu. Dan saya pilah kepada dua tulisan. Anggap saja ini untuk menyegarkan kembali ingatan kita atas realitas yang saya sempat rekam, terjadi saat pandemi Covid-19 selama ini.

Pelayanan Nikah, Salat Jumat, Puasa Ramadan, Idul Fitri 1441 H, Ibadah Haji, Sidang Isbat, dan Rukyatul Hilal di Tengah Wabah

Sudah maklum, bahwa wabah virus corona ini memengaruhi berbagai lini kehidupan kita sehari-hari. Kebiasaan kita selama ini, sebelum dan sesudahnya ada pandemi Covid-19, sangat jauh berbeda. Wabah ini mengubah dan mendistrupsi banyak hal dalam hidup kita.

Makanya, mau tidak mau, kita dipaksa harus mengikuti konteks, dan siap beradaptasi dengan keadaan seperti ini, jika kita tidak mau terpapar virus corona.

Tidak ingin menjadi suspeks, dikarantina, dan atau bernasib nestapa mengalami pemulasaran jenazah ala protokol kesehatan Covid-19--yang faktanya banyak ditolak dan diprotes tidak sedikit warga masyarakat itu. Asosial, dan tak punya priperjenazahan mereka itu.

Termasuk beragama. Kita beragama itu, atau secara umum hidup kita itu, sejatinya tidak boleh lari dari konteks yang menyertai dan mengitarinya.

Maka konsekuensinya, beragama itu tidak boleh rigid (kaku), hanya bertumpu pada teks (cenderung tekstual), jumud, apalagi hanya bermodal pada "katanya" ustaz google, "halunya" ustaz medsos, hanya membaca terjemahan Al-Quran an sich, bahkan, ustaz dadakan (kayak tahu bulat) yang baca Al-Quran saja masih berlepotan (berlumuran) kesalahan fatal, dan tidak fasih, tapi sudah merasa tahu segalanya, dan paling benar, paling suci dan paling (berhak) memiliki kavling di surga.

Sementara itu mengesampingkan rujukan-rujukan otoritatif (mu'tabarah), menyepekan (bahkan merisak) cendikiawan (ilmuan, tokoh) Islam otoritatif, dan jelas sanad keilmuannya, serta tidak memahami konteks (asbab al-nuzul, asbab al-wurud) teks itu berbicara.

Pemahaman, sikap, dan cara beragama sebagian (oknum) orang yang rigid, hanya berdasar emosi tanpa nalar yang sehat, dan benar (beragama tanpa ilmu) seperti inilah, akhirnya bermunculan batang hidungnya, membuat kegaduhan, dan menampar wajah beragama (Islam) kita yang moderat, ramah, dan sejuk, beragama yang rasional, dan bertumpu pada nalar (berdasar pada keilmuan), ketika wabah virus corona ini menyambangi tanah air kita.

Dalam pengamatan saya, model beragama seperti itulah yang kemudian berbuat onar dan eyel (ngeyel) dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, terkait protokol kesehatan dalam beragama dan beribadah di tengah wabah pandemi Covid-19.

Efek domino pandemi Covid-19, antara lain adalah berimbas pada pelayanan publik, misalnya pelayanan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), baik untuk penghulu atau pegawai pencatat nikah di KUA, maupun calon mempelai.

Bagi yang bekerja pada pelayanan publik, seperti penghulu atau pegawai pencatat nikah di KUA, adalah dilema. Karena di satu sisi sangat rentan terpapar virus corona, dan di sisi lain, harus tetap melayani masyarakat dengan keharusan secara ketat mengikuti protokol kesehatan, seperti jaga jarak fisik, pakai masker, dan seterusnya.

Sementara bagi penghulu sangat sulit untuk menjaga jarak fisik, bahkan harus tetap berdekatan dalam satu ruang akad nikah dengan calon mempelai dan keluargamya. Inilah dilema penghulu KUA ketika melaksanakan pelayanan nikah di tengah wabah.

Makanya, Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan yang harus dipatuhi oleh penghulu dan calon mempelai terkait protokol kesehatan dalam pelayanan nikah.

Jadi, di tengah pandemi ini, bagi yang mau nikah, atau calon mempelai tidak perlu resah, KUA tetap melayani pelaksanaan pernikahan, asal tetap mengikuti kebijakan protokol kesehatan.

Bahkan, atas nama Covid-19, pendaftaran nikah pun tetap dilayani secara daring lewat situs Sistem Informasi dan Manajemen Nikah (Simkah) Direktorat Bimas Islam Kementerian Agama.

Alhamdulillah, semua penghulu secara nasional, termasuk para penghulu di DKI Jakarta selalu mematuhi kebijakan yang terkait protokol kesehatan dalam pelayanan nikah, dan bersyukur tidak ada kabar yang terpapar. Semoga semuanya tetap sehat, dan segar bugar.

Masyarakat pun dalam pelayanan nikah sangat care dan mematuhi kebijakan protokol kesehatan ketika pelaksanaan akad nikah. Hanya ada beberapa oknum yang abai dan eyel.

Misalnya, tidak mau memakai masker, bahkan ada yang jelas-jelas menepis masker ketika diminta untuk dikenakan. Tidak boleh melebihi 10 orang yang hadir dalam ruang akad nikah, tapi tetap saja melebihi dari yang seharusnya hadir. Tidak boleh mengadakan resepsi pernikahan, tetap saja mengundang banyak orang untuk hadir.

Itulah yang terjadi di Semarang. Kasus beberapa orang terpapar virus corona setelah perhelatan resepsi pernikahan . Akibatnya, pesta pernikahan tersebut yang mestinya bahagia, justru berakhir duka setelah satu per satu kerabat sakit hingga meninggal dunia akibat Covid-19.

Dalam pelaksanaan salat berjemaah di masjid atau muslala, salat Jumat, salat Tarawih, salat Idul Fitri, otomatis tidak diperkenankan di masjid. Semua ibadah-ibadah itu harus dilaksanakan di rumah masing-masing.

Pelaksanaan salat Jumat di Masjid PB Soedirman Cijantung Pasar Rebo Jakarta Timur saat protokol transisi new normal DKi Jakarta | dokpri (MUIS SUNARYA)
Pelaksanaan salat Jumat di Masjid PB Soedirman Cijantung Pasar Rebo Jakarta Timur saat protokol transisi new normal DKi Jakarta | dokpri (MUIS SUNARYA)

Saya sendiri, dan tentu saudara-saudara muslim yang lainnya, seumur-umur baru kali ini melaksanakan salat Idul Fitri, menjadi imam dan sekaligus khatib Idul Fitri di rumah bersama keluarga, istri, anak-anak, kakak, dan keponakan-keponakan.

Inilah teks khotbah Idul Fitri 1441/2020 yang saya sampaikan pada salat Idul Fitri yang lalu bersama keluarga saya di rumah, Khotbah Idul Fitri 2020: Pesan Spiritual, Moderasi Beragama, dan Sosial Profetik

Tahun ini pun, saya tidak mudik lebaran, dan sungkem offline dengan orang tua di kampung. Mudiknya dekat sebenarnya, yaitu ke daerah Anyer Serang Banten. Dan saya tinggal di Bekasi.

Tapi saya tetap konsisten tidak mudik demi protokol kesehatan, keselamatan, dan kemaslahatan bersama. Di samping memang pemerintah melarang mudik, dan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan protokol kesehatan yang ketat.

Oleh karena itu, saya dan keluarga (istri dan anak-anak) hanya bisa berlebaran secara virtual, melakukan sungkem online, dan bermaaf-maafan secara daring dengan orang tua lewat video-call.

Selain itu, pemerintah (Kementerian Agama) menyiapkan skenario penyelenggaraan ibadah haji 2020, sebagai antisipasi dan respons jika dibatalkan akibat pandemi Covid-19.

Dan akhirnya, keputusan yang dipilih pemerintah adalah pembatalan pemberangkatan jemaah haji Indonesia tahun ini. 

Hal ini ternyata selaras dengan kebijakan pemerintah kerajaan Arab Saudi yang membatasi ibadah haji hanya bagi warga negara asing yang bermukim di Arab Saudi dengan protokol kesehatan yang ketat.

Bahkan, rukyatul hilal dan sidang isbat yang selalu ditunggu jelang puasa Ramadan, dan Idul Fitri pun digelar secara daring oleh Kementerian Agama berbeda dari kebiasaan tahun-tahun yang lalu selama ini.

Baca juga: Membaca Surat "Orang Berselimut", Memaknai Semangat Kebangkitan Nasional 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun