Segala apa yang terjadi, termasuk diri kita, apa yang ada pada kita, apa yang kita miliki, hakikatnya adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah, Tuhan semesta alam.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِين الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un". (Q.S. Al-Baqarah Ayat 155 -156).
Bahkan, ikrar yang sering kita lafalkan di doa iftitah kita dalam setiap kita mendirikan salat, "inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil 'alamin." Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, karena Allah, Tuhan semesta alam.
Musibah wabah pandemi Covid-19 ini, dan berbarengan dengan puasa Ramadan kita selama sebulan penuh di bulan suci Ranadan selama ini, semakin memberi keyakinan pada kita bahwa semuanya ini terjadi atas kehendak Allah. Dan pasti tidak luput dari takdir dan iradah-Nya.
Allah-lah yang mengatur semua ini. Ini terjadi dalam skenario Allah Yang Maha Mencipta, dan Maha Mengatur alam semesta ini. Semakin yakinlah kita atas semua itu.
Kedua, pelajaran bahwa dalam beraktivitas sosial, bekerja, dan beribadah pun, kita harus memperhatikan sesama kita, orang-orang di sekitar kita, dan alam semesta.
Keharmonisan dan sinergi, simpati dan empati antara kita dan terhadap semesta harus terjalin berkelindan, berjalan seiring seirama, dan teraktualisasi dengan baik dan efektif.
Artinya, bahwa kita jangan sampai merugikan dan menzalimi diri kita sendiri, orang lain, dan alam semesta sekitar kita.
Termasuk, perlu diingatkan, bahwa dalam beragama, misalnya. Kita beragama itu tidak cukup sekadar berdasarkan emosional, tapi juga harus dibarengi rasional.
Pakailah akal sehat dan gunakanlah nalar kita dalam beragama itu. Sehingga kita tidak jatuh pada gejala kondisi mabuk beragama. Namanya orang mabuk, tentu kehilangan nalar dan akal sehatnya. Seolah-olah apa yang dilakukanya dalam beragama, dan paham keagamaannya adalah paling benar. Di sinilah, pentingnya moderasi beragama.