Merayakan Hari Kebangkitan Nasional kali ini sangat berbeda. Berbeda keadaannya. Satu sisi, saat ini bangsa Indonesia masih menghadapi keadaan kahar pandemi Covid-19. Dan di sisi lain, umat Islam tengah menjalani hari-hari berpuasa di bulan Ramadan.
Tentang kata "kebangkitan", saya jadi teringat dengan surat "orang yang berselimut" atau surat Al-Mudatsir dalam Al-Quran. Senarai ayat yang notabene adalah wahyu kedua yang diterima oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw.
"Wahai orang yang berselimut. Bangkitlah, lalu berilah peringatan. Dan, Tuhanmu, maka agungkanlah. Dan pakaianmu, bersihkanlah. Dan dosa maka tinggalkanlah." (Al-Quran Surat Al-Mudatsir ayat 1 - 5)
Kenapa surat ini dinamakan Al-Mudatsir (orang yang berselimut)?Â
Asbab al-nuzul (sebab-sebab atau latar belakang diturunkannya) ayat-ayat ini, seperti diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Nabi Muhammad sehabis menerima wahyu pertama (setelah turunnya Iqra), ia merasa takut dan gemetaran luar biasa. Maka ia segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia meminta istrinya tercinta, Khadijah, untuk menyelimutinya. Maka turunlah ayat-ayat tersebut.
Lantas, apa hubungannya dengan Hari Kebangkitan Nasional?Â
Begini, senarai ayat dalam surat Al-Mudatsir itu adalah relevan dengan Hari Kebangkitan Nasional, karena berisi pesan tentang semangat kebangkitan, peringatan untuk tidak lengah, menumbuhkan kesadaran spiritual, pentingnya kesehatan dan kebersihan, dan wawas diri dari kesalahan masa lalu, jangan sampai terulang kembali.
Pesan surat "orang yang berselimut" ini menjadi semakin penting dan signifikan bagi kita bangsa Indonesia saat ini yang tengah bersama melawan pandemi Covid-19 dan berupaya memutus mata rantai penyebaran dan penularannya dengan tetap semangat bangkit dan tidak boleh atau pantang menyerah (bukan "terserah Indonesia").
Terlebih bagi umat Islam yang sedang menahan, mengendalikan dan melawan hawa nafsu dengan berpuasa di bulan suci Ramadan ini. Melawan hawa nafsu ini adalah perang yang lebih besar daripada perang Badar sebagaimana narasi (hadis) yang disampaikan oleh Nabi saw sendiri ketika baru usai perang Badar, yang konon adalah perang yang terbesar dari perang-perang yang lain dalam sejarah Islam.
Namun, Nabi menyatakan, "Kita baru saja kembali dari perang yang kecil (Perang Badar) menuju perang yang lebih besar (lagi), yaitu perang melawan hawa nafsu."
Dengan berpuasa Ramadan, sebenarnya orang yang berpuasa dilatih untuk itu, yakni dengan menahan diri, mengendalikan dan melawan hawa nafsu. Jika orang yang berpuasa sebulan penuh di bulan suci Ramadan mampu untuk mengalahkan hawa nafsunya itu, maka ia akan memperoleh kebahagian yang luar biasa.
Secara sederhana, kebahagiaan itu akan dirasakan bagi orang yang berpuasa setelah menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks, dan hal-hal yang membatalkan (puasa) seharian penuh, sampai waktu yang telah ditentukan yaitu datangnya waktu magrib (terbenam matahari) saat berbuka puasa.
Dengan berpuasa, maka orang yang berpuasa dilatih untuk menunda kenikmatan dan kebahagiaan sesaat dan sementara untuk menggapai kenikmatan dan kebahagiaan yang lebih tinggi dan hakiki di masa depan dalam jangka panjang.Â
Yang secara sederhana, kebahagaian itu akan dirasakan oleh orang yang berpuasa saat merayakan lebaran sebentar lagi tiba, setelah selama ini berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H