Tiba-tiba anak gembala ini menolak dan keberatan menjual satu ekor pun dari sekian kambingnya itu. Karena ia merasa bahwa kambing-kambing itu bukan miliknya. Tetapi ia hanya bekerja pada majikannya untuk menggembalakannya. Ia merasa tidak punya hak sama sekali terhadap kambing-kambing itu, apalagi untuk menjualnya.
Umar Bin Khattab tetap membujuk anak gembala ini untuk menjual kepadanya satu ekor kambing. Ia memberi alasan, bahwa walaupun nanti majikan itu bertanya, maka ceritakan saja bahwa satu kambingnya hilang, atau mati diterkam serigala.
Anak gembala ini spontan mengatakan pada Umar Bin Khattab, "Jika demikian, di mana Tuhan, wahai Amirul mukminin?"
Umar Bin Khattab terperanjat dan terkesima dengan jawaban anak gembala ini. Jawabannya, "Di mana Tuhan?" itu adalah sama saja artinya dengan pernyataan, "Apakah engkau tidak tahu bahwa Tuhan itu Maha Melihat dan Maha Mengawasi setiap perbuatan kita, baik ataupun buruk?"
Atau dengan kata lain, anak gembala itu mengatakan bahwa ia bisa saja membohongi dan mengelabui majikannya itu. Tapi ia tidak mungkin membohongi dirinya, dan sekaligus Tuhannya. Tuhan akan selalu mengetahui, melihat dan mengawasinya.
Makanya Nabi bersabda, bahwa hendaknya Anda beribadah kepada Tuhan, seakan-akan Anda melihat-Nya. Jika Anda tidak bisa melihat-Nya, dan memang tidak mungkin (mustahil) Anda bisa melihat-Nya, maka (yakinlah) bahwa Tuhan akan selalu melihatmu. Inilah yang disebut dengan istilah "Ihsan".
Kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir, dekat, melihat, mengetahui dan mengawasi kita, adalah pelajaran penting dan pesan dari puasa yang kita lakukan ini.
Sikap muroqabah (merasa diawasi oleh Tuhan) dan muqorabah (merasa begitu dekat dengan Tuhan), sikap kejujuran dan amanah adalah sikap yang mestinya dimiliki oleh orang yang berpuasa. Jika tidak, untuk apa berpuasa. Atau jangan-jangan sekadar berpura-pura berpuasa saja.
Pantas saja Nabi bersabda, "Begitu banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan makna dan pelajaran apa-apa dari puasanya, selain rasa lapar dan haus."
Sayang, berpuasa tapi muspra. Berpuasa tapi sia-sia saja.
Berpuasa itu mengajarkan pada pelakunya kesadaran akan hakikat kemanusiaannya, dan hakikat spiritual "di mana Tuhan" selama ini. Yakinlah, Tuhan itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Tuhan ada di mana saja. Bukan hanya ada di tempat-tempat ibadah. Buktinya di era pandemi Covid-19 sekarang ini, rumah-rumah ibadah ternyata bisa saja tidak berfungsi sama sekali. Tapi walaupun begitu tidak menghilangkan keberagamaan seseorang. Rumah ibadah itu sebenarnya sekadar simbol. Simbolisasi agama. Bukan subtansi keberagamaan.
Di mana pun kita hidup, dan beribadah, di situlah kita bertemu dengan Tuhan kita.