"Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)--Bulan Sya'ban atau Ramadan--menjadi 30 hari". (Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas maksudnya, bahwa puasa Ramadan itu patokannya atau tolok ukurnya adalah melihat anak bulan (hilal). Begitu juga, lebaran atau hari raya idul fitri 1 Syawal sama, patokannya harus melihat anak bulan (hilal).Â
Kemunculan anak bulan atau hilal adalah pertanda awal bulan dalam kalender Islam (tahun hijriah). Tahun hijriah ini perhitungannya berdasarkan pada peredaran bulan. Maka sering juga disebut sebagai tahun qamariyah. Hari-harinya dimulai dari sejak terbenamnya matahari.
Lantas, bagaimana jika anak bulan (hilal) tadi tidak kelihatan atau terhalang awan, atau masih berada di bawah ufuk atau kaki langit (yaitu di bawah dua derajat)? Maka genapkan atau sempurnakan (istikmal) bilangan hari dalam bulan Sya'ban untuk berpuasa Ramadan, dan bulan Ramadan untuk berlebaran atau hari raya idul fitri 1 Syawal, menjadi 30 (tiga puluh) hari.
Ramadan tahun ini tampaknya agak berbeda situasinya bagi umat Islam. Karena masih dalam keadaan kahar pandemi Covid-19.
Dengan demikian, otomatis masjid-masjid dan musala-musala bakal sepi, tidak sesemarak dan membeludak jemaahnya seperti Ramadan tahun yang lalu.
Bagaimana pun situasinya, sekalipun masih dalam kahar pandemi sekarang ini, puasa di bulan Ramadan adalah wajib bagi setiap muslim, kecuali ada uzur (halangan) secara syari' (hukum Islam) boleh tidak berpuasa. Misalnya, karena lanjut usia, mensturasi, nifas (masa setelah melahirkan), sakit, orang dalam perjalanan (musafir), dan seterusnya.
Syarat yang paling utama untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadan adalah sudah masuk bulannya. Tolok ukur atau patokannya seperti dinyatakan di awal ditandai dengan munculmya bulan baru (new moon) yang menandai awal bulan hijriah. Atau sering ditandai dengan terlihatnya (munculnya) anak bulan (hilal).