Hanya di negara kita, Indonesia yang belum mengeluarkan secara resmi kebijakan ini, baik oleh pemerintah, ataupun lembaga-lembaga agama, dan ormas-ormas Islam, seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dan yang lainnya.
Secara lebih luas lagi, tidak saja kepentingan umat Islam, tetapi termasuk juga bagi kepentingan umat agama lainnya yang juga harus dilindungi, maka mestinya kebijakan negara atau intern umat beragama tentang hal ini, yakni terkait ibadah, ritual, atau perayaan agama untuk dibatasi, atau ditiadakan juga sama sekali.
Untuk acara-acara atau even-even tertentu yang tidak bersifat ritual keagamaan, tampaknya pemerintah melalui masing-masing kementerian sudah mengeluarkan kebijakan tentang larangan dan membatasi secara ketat untuk menghadiri acara keramaian atau acara-acara yang mengundang banyak orang dalam satu ruang dan waktu bersamaan, massif dan kolosal.
Ini semua tentu dalam rangka kewaspadaan nasional atas darurat (emergency) virus corona (Covid-19) yang sudah ditetapkan oleh WHO sebagai pandemi global. Bukan sebuah gerakan kepanikan nasional, tapi upaya dan ikhtiar menghindari terpaparnya wabah virus corona ini.
Becermin kepada Umar bin Khattab, ketika ada wabah di suatu wilayah, dalam rangka ikhtiar menghindari terpaparnya wabah itu, maka ia berujar, "Aku menghindar dari satu takdir, dan berpindah ke takdir yang lain".
Salat Jumat dalam Keadaan Kahar Pandemi Corona
Bagaimana hukum Islam atau fikih dalam hal ini memandang salat Jumat dalam kondisi pusaran wabah penyakit, seperti kahar pandemi virus corona (Covid-19) ini? Bolehkah ditiadakan salat Jumat itu?
Salat Jumat adalah salat fardu dua rakaat yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada setiap hari Jumat di waktu zuhur dengan berjemaah yang diawali dengan dua khotbah.
Menurut ulama fikih, orang yang wajib melaksanakan salat Jumat adalah setiap muslim yang telah mukalaf (balig dan berakal), merdeka, laki-laki, menetap di daerahnya (bukan musafir), dan tidak dalam keadaan sakit dan mempunyai uzur  sejenisnya (alasan yang dibenarkan secara syar'i/hukum Islam), dan mendengar panggilan azan. (Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 5, hal. 1580)
Sedangkan dalam Fiqih Islam Wa Adilllatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, menjelaskan tentang alasan-alasan boleh meninggalkan salat berjemaah dan salat Jumat. Salah satunya, adalah bila seseorang merasa khawatir akan adanya bahaya terhadap diri, harta, harga diri, ataupun pengidap penyakit yang membuatnya susah untuk pergi salat berjamaah atau salat Jumat. Makanya pengertian uzur itu, adalah takut dan sakit. Takut di sini banyak macamnya, antara lain, takut menambah sakit, ataupun memperlambat proses penyembuhan. (hal.306).
Wahbah Az-Zuhaili juga menyatakan, Â bahwa Salat Jumat diwajibkan bagi orang yang sehat, merasa aman, merdeka, dapat melihat, mampu berjalan, tidak ada yang menahannya, tidak sedang hujan lebat, berlumpur, hujan salju, dan sebagainya yang berkaitan dengan uzur yang menggugurkan untuk salat berjemaah dan salat Jumat.