Ia tentu melakukan itu semua bukan ingin kesohor, menjadi pahlawan, dipuji banyak orang, dan pamrih.
Wajar jika tidak sedikit warganet merespons dan mengapresiasi aksi kebaikan dan perbuatan terpuji Susanna Indriyani ini dengan mengatakan salut, dan bangga, ternyata di negeri ini masih ada orang baik seperti Susanna Indriyani ini.
Pelajaran moral yang bisa dipetik dari apa yang dilakukan Susanna Indriyani bahwa begitu pentingnya nilai kemanusiaan dan sekaligus nilai ketuhanan (spiritualitas) itu.
Pentingnya kesalehan individu dan kasalehan sosial. Empati dan kepedulian sosial tanpa memandang sekat-sekat primordialisme, dan tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Semua sama atas dasar ketuhanan dan kemanusiaan.
Di situ ada pesan sosial profetik dan egalitarianisme. Bukankah begitu banyak narasi profetik yang menyatakan bahwa tidak beriman seseorang jika tidak mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri?
Bukankah tidak pantas lagi seseorang disebut manusia (bani Adam) jika tidak peduli dengan sesama?
Bukankah ada narasi profetik mengajarkan bahwa jika kita ingin "bertemu" dengan Tuhan kita, maka temuilah orang-orang yang merasakan kesusahan dan penderitaan?
Firman Tuhan dalam narasi profetik yang agak panjang, dengan gaya bahasa majas atau satire, mengatakan, "Aku pun lapar, Aku pun haus, dan Aku pun sakit."
"Tuhan, bagaimana mungkin Engkau bisa lapar, haus, dan sakit, sedangkan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Kuasa?"
"Tidakkah kamu lihat ada saudaramu yang merasakan kelaparan, kehausan, dan menderita sakit, kenapa kamu tidak menyambangi dan menemui mereka? Di tengah mereka itulah, kamu akan bertemu dengan Aku." (Hadis Qudsi)
Dalam narasi profetik yang lain, dinyatakan, "Tuhan akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya menolong saudaranya yang lain." (Hadis).Â