Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pejabat Saltik

19 Februari 2020   15:51 Diperbarui: 23 Februari 2020   15:02 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gejala apa ini sebenarnya ketika pejabat kerap meralat pernyataannya yang kadung tayang dan dipublikasikan di media massa?

Atau kenapa dengan gampangnya pejabat bilang saltik (salah tik, tipo), atau mengatakan awak media salah kutip pernyataannya?

Mengapa juga pejabat kadang cepat menyalahkan dan menuduh publik atau warganet sok tahu, dan tidak lebih dulu melakukan klarifikasi, tapi langsung mengkonsumsi informasi dan tidak disaring dulu?

Yang agak membuat tanda tanya dan tak habis pikir, kok bisa, ketika produk hukum pun, seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cipker) yang begitu pentingnya bagi hajat hidup orang banyak, dibilang saltik juga. (Sumber) 

Fenomena seperti ini tampak sepele dan dianggap sederhana. Padahal efeknya luar biasa, kompleks, dan tidak sesederhana yang dibayangkan.

Bisa menimbulkan kesalahpahaman publik, kegaduhan, pro-kontra, polemik berkepanjangan, kontroversi, dan bisa menjadi masalah hukum.

Tidak itu saja, publik akhirnya menilai bahwa pemerintah atau pejabat yang bersangkutan bekerja tidak kompeten, tidak profesional, dan tidak kredibel.

Jangan salahkan publik jika kemudian tidak lagi menaruh kepercayaan pada pemerintah, atau pejabat. Gara-gara pejabat saltik.

Betul, pejabat juga manusia. Bisa salah. Wajar. Bukan malaikat. Tapi, kalau salah melulu, berarti bukan kedua-duanya (bukan manusia, apalagi malaikat). Lebih-lebih kerjanya plinplan, plintat-plintut, dan tidak kredibel.

Apa yang terjadi pada surat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan terkait kawasan Monas untuk lintasan balap Formula E yang sudah disampaikan kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno, bahwa dikatakan sudah mengantongi surat rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), adalah contoh bagaimana seorang pejabat bekerja.

Lantas dibantah oleh Kepala Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI Jakarta, menegaskan bahwa ia tidak pernah mengeluarkan surat rekomendasi untuk itu.

Karena ada bantahan seperti itu, buru-buru pihak Pemda DKI Jakarta, lewat Sekretaris Daerah Pemda DKI Jakarta, Saefullah, minta maaf dan meralat informasi itu sebagai saltik. Apa yang tertulis di surat itu saltik. Bukan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya ((TACB), tapi Tim Sidang Pemugaran (TSP).(Sumber) 

Dengan entengnya, mengatakan cuma saltik. Tipo TACB. Mestinya TSP. Tinggal diperbaiki saja, dan nanti dibuat surat susulan.

Kasus lainnya, dan masih aktual juga, adalah berita Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), Tjahjo Kumolo yang menyatakan PNS akan mendapat uang pensiun sebesar satu miliar. 

Tentang berita ini, ketika sudah dipublikasikan di media massa, segera Tjahjo Kumolo meralat dan mengklarifikasi sebagai saltik juga, atau salah kutip.

Dalam klarifikasinya, Tjahjo Kumolo mengatakan, bahwa ia berharap, agar PNS saat pensiun itu tidak menerima uang pensiunan yang hanya berkisar puluhan juta yang selama ini terjadi. Kira-kira bisa atau tidak mereka, PNS itu menerima uang pensiunan satu miliar?

Ada lagi, sekarang sedang laguh-lagahnya berita bahwa ada kalimat atau redaksi dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cipker) yang saltik. Ini soal produk hukum. Soal undang-undang lagi. Kok bisa ya? (Sumber)

Saltik memang biasa terjadi. Baik itu pada penulisan kata atau ejaan, bisa juga kalimat atau paragraf. Harusnya bisa dihindari. Apalagi untuk konsumsi publik, surat resmi, dan ada kaitannya dengan ranah hukum, berupa undang-undang.

Saltik kata atau kalimat tentu dampaknya besar, dan berabe. Karena bisa menimbulkan beda dan salah arti, menyesatkan dan fatal, sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan kegaduhan di ruang publik. Juga bisa jadi masalah hukum.

Padahal draft konsep atau naskah awal itu pasti terlebih dulu melalui proses yang panjang sebelum menjadi benar-benar dokumen atau naskah matang.

Ada proses penyuntingan berlapis, dan sejatinya ekstra teliti. Aneh, kenapa terjadi kecolongan saltik juga, dan masih bisa terjadi?

Maka apakah itu semua terjadi jangan-jangan tidak ada proses penyuntingan lebih dulu, atau ada penyuntingan, tapi tidak berfungsi kerja penyuntingannya. Asal jadi saja, atau luput. Tidak teliti. Sembarangan banget.

Atau sengaja, berharap mudah-mudahan tidak terbaca, atau lolos baca. Kalau seperti ini ada niat. Sebenarnya bukan saltik lagi. Bukan tipo. 

Apalagi, kalau pejabat tersebut berusaha mengelak atau menghindari dari sesuatu yang memang sebenarnya ketahuan sudah salah. Jelas itu bukan saltik atau tipo, tapi memang ngeles saja.

Kasus Monas, tipo TACB, mestinya TSP, misalnya. Tipo? Tipo dari mana, tipo dari Hongkong? Hal seperti ini sudah lain masalahnya. Menduga, mungkin ada "sesuatu" atau ada apa-apanya di balik pengakuan saltik itu. Barangkali.

Belajar dari fenomena pejabat tipo (huruf akhir 'o', bukan 'u') alias pejabat saltik ini, ternyata orang-orang yang bekerja di balik layar, seperti tim redaksi dan penyunting itu adalah sangat penting, strategis, dan signifikan perannya.

Makanya tim redaksi dan penyunting tidak boleh dipandang sebelah mata dan perlu mendapatkan penghargaan yang lebih. Gajinya harus gede. Tak pernah kelihatan, tapi ada, nyata kerjanya, jelas, dan sangat penting.

Berada di balik layar, tapi menentukkan layar dan wajah yang tampak di depan. Dilihat banyak orang. Disorot dan menjadi perhatian publik.

Baik dan buruknya wajah dan keberadaan lembaga, instansi, pejabat, perusahaan, atau apa pun namanya yang berkaitan dengan naskah, konsep, surat, dokumen, dan lain-lain, paling tidak, agar tidak terjadi saltik, sangat tergantung pada peran tim redaksi dan penyunting ini.

Salut dan apresiasi luar biasa pada tim redaksi dan penyunting media massa, baik itu media cetak ataupun media online, Kompasiana ini, misalnya.

Mereka bekerja di balik layar dengan penuh dedikasi, tanggung jawab, membaca dengan teliti, telaten, dan sabar dalam menyunting naskah-naskah, yang akan dipublikasikan itu. Naskah-naskah yang masuk itu banyak. Wow!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun