Mengundang keluarga dekat, kerabat, sahabat, teman dekat, teman-teman sekantor atau satu almamater, atasan-bawahan (pimpinan-staf) di kantor, kolega, tetangga, dst. dalam sebuah walimah atau resepsi pernikahan, adalah sah-sah saja, biasa, baik, dan wajar. Bahkan sudah menjadi tradisi dan budaya. Bagus.
Dalam ajaran Islam pun mengundang orang untuk hadir dalam walimah atau resepsi pernikahan, selain sebagai rasa syukur kepada Tuhan, dan memohon doa restu dari para undangan sangat dianjurkan. Juga sekalian sebagai informasi, pemberitahuan, pengumuman secara terbuka. Hukumnya sunah. Tidak dilarang. Asal mampu dan niatnya untuk kebaikan. Berbagi kebahagiaan.
Artinya, ketika mengundang orang untuk hadir dalam acara resepsi pernikahan, jangan sampai memaksakan diri, asal pamer atau asal kesohor tapi ujung-ujungnya tekor, atau untuk mengangkat pamor, bela-belain pontang-panting cari duit, ngutang (berutang) sana ngutang (berutang) sini, apalagi sampai berurusan dengan debt collector, atau jadi koruptor. Itu mudharat, namanya. Morat-marit jadinya. Amit-amit. Nau'udzubillah.
Berbeda lagi dengan yang kondangan, atau melihat dari sisi yang diundang. Kalau diundang itu wajib datang. Harus hadir memenuhi undangan shohibul hajat, yang punya hajat (yang mengundang).Â
"Kondangan, menurut KBBI Daring Kemdikbud, artinya pergi menghadiri undangan perkawinan dan sebagainya (untuk mengucapkan selamat dan sebagainya)."
Secara etika dan pranata sosial juga, ketika diundang kondangan, terus tidak kondangan, tidak hadir, adalah kurang etis, ada perasaan nggak enak, dan kurang baik. Apalagi, jangan sampai terjadi, maunya mengundang, tapi diundang nggak mau (datang), nggak mau kondangan. Ini curang, atau bisa jadi asosial.
Kecuali ada alasan kuat, darurat, hal-hal mendadak di luar kehendak, dan dengan sangat berat hati terpaksa tidak hadir memenuhi undangan walimah atau resepsi itu. Akhirnya, paling tidak, titip salam (amplop juga).
Karena dalam ajaran Islam berdasarkan narasi yang agak panjang dari hadis Nabi saw, bahwa ada enam hak dan kewajiban antar sesama muslim, yang salah satunya, adalah "Jika Anda diundang, maka (wajib) untuk Anda memenuhinya (menghadiri undangan itu)".
Kondangan, menurut KBBI Daring Kemdikbud, artinya pergi menghadiri undangan perkawinan dan sebagainya (untuk mengucapkan selamat dan sebagainya).
Banyak hal, atau tidak sedikit pengalaman yang bisa kita ceritakan saat kita kondangan. Mungkin cerita serba-serbi dan pernak-pernik kondangan, atau kostum yang harus dipakai saat kondangan, aneka kuliner saat kondangan, atau suka cita, keluh-kesah, puas dan tidak puas saat kondangan, dan seterusnya.
Dua hal ini tidak jarang kita temukan, atau mengalami sendiri. Saya sendiri mengalami ini. Pertama, ketika kondangan tidak saling kenal antara yang mengundang dan yang diundang. Kedua, kodangan salah alamat, atau salah masuk.
Bagaimana ceritanya kedua hal itu bisa terjadi?
Begini ceritanya. Saya itu tinggal di kampung. Artinya, bukan di kompleks perumahan. Pak RT saya itu aktif sekali kalau ada acara resepsi pernikahan warganya, baik yang ada di lingkungan satu RW, apalagi warganya yang satu RT. Bagus, sebenarnya.
Dan yang punya hajat, atau yang akan melangsungkan resepsi pernikahan juga memberi tugas pada Pak RT ini untuk menyebarkan undangan. Diberikanlah atau dititipkan saja segepok surat undangan itu ke tangan Pak RT. Terserah Pak RT, siapa saja warga yang akan diberi undangan. Pokoknya, semua warga diundang saja.
Sudah pasti, namanya Pak RT kenal semua warganya. Jadi semua warganya diundang. Dia main tulis saja sesuka dia. Dan tersebarlah surat undangan itu. Tahu-tahu sudah menumpuk saja surat undangan di rumah.
Saya tidak melihat siapa yang mengundang. Saya hanya melihat alamat dari yang mengundang saja.Â
Terus terang saya memang tidak kenal semua orang dalam lingkungan satu RT. Banyak sebabnya. Misalnya, tidak semua warga aktif bergaul atau bermasyarakat, pendatang baru, dan sebagainya.
Saya yang namanya diundang, berangkat saja. Datang, walaupun saya tidak kenal sama sekali siapa yang mengundang. Saya berpikir positif saja, bisa jadi saya tidak kenal, tapi bisa juga dia, yang punya hajat itu, kenal saya. Yang begini sering terjadi. Ya, saya memang termasuk aktif bergaul (bermasyarakat).
Di tempat resepsi apa yang terjadi? Baik saya yang kodangan maupun yang mengundang sama-sama tidak kenal sama sekali. Tapi karena memang dari awal niatnya kondangan, ya tetap kondangan. Mengucapkan kata selamat dan doa kebahagiaan untuk pengantin baru. Walaupun sambil celingak-celinguk. Dan merasa asing.
Lain waktu, karena saking banyaknya yang hajatan atau undangan resepsi pernikahan, tempatnya berdekatan pula, dan hanya beda gang.Â
Tanpa lihat-lihat lagi kertas (sebagai informasi, petunjuk, atau tanda pengenal, biasanya dilaminating) yang tertera nama pengundang yang biasanya digantung di janur, saya menyelonong saja ke tempat resepsi.Â
Tepat di meja penerima tamu atau pagar ayu, saya tanya, "Betul ini yang punya hajat namanya Pak Anu (pasti bukan nama sebenarnya)?"Â
Sontak penerima tamu atau pagar ayu itu menjawab, "Oh, bukan Pak, ini yang punya hajat, Bu Ani (ini pun jelas bukan nama sebenarnya), kalau Pak Anu, di gang satunya lagi, sebelah sana, Pak!" Sambil telunjuknya mengarah ke alamat yang mestinya saya kondangan.Â
"Ampuuun!", saya menggumam. Ternyata, saya kondangan salah alamat. Salah masuk. Syukur saya belum mencicipi hidangannya, dan bertanya dulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI