Setiap orang boleh percaya, boleh juga tidak, akan adanya garis tangan. Saya sendiri kurang begitu percaya. Bahwa takdir atau nasib ditentukan oleh garis tangan ini.Â
Karena dengan begitu berarti memungkiri dan menafikan sebuah proses atau usaha setiap orang dalam bekerja, mencapai suatu prestasi atau keberhasilan.
Efeknya akan melahirkan sikap nerimo yang cenderung pada sikap fatalistik, dan tidak dinamis menghadapi kehidupan. Dalam bahasa teologi Islam, ini sering disebut dengan jabariyah/fatalisme.
Membaca garis tangan ini hampir mirip dengan zodiak. Tentu berdasarkan kemampuan dan keahlian tersendiri. Pasti, ada ilmunya, dan bisa dipelajari. Namanya, Chirologi. Teknik membaca garis tangan.Â
Makanya, garis tangan sering dimaknai dengan suratan, takdir, atau nasib.
Garis tangan atau rajah berarti garis pada tapak tangan, guratan tangan, retak tangan (KBBI Daring Kemdikbud), atau berupa garis-garis yang kasat mata tampak di telapak tangan.
Konon, garis tangan setiap orang tidak ada yang sama, seperti halnya sidik jari. Setiap orang punya garis tangan sendiri-sendiri. Tetapi mungkin saja ada kemiripan garis tangan antara satu orang dengan yang lain.
Perjalanan seseorang dari fase ke fase (anggap saja) adalah refleksi dari garis tangan itu.
Fenomena Basuki Tjahaja Purnama (BTP)Â misalnya. Sengaja saya menghindari menulis Ahok, panggilannya sejak ia lahir dan sudah kadung populer itu selama ini.
Alasannya, karena ia sendiri tampaknya percaya terhadap garis tangan itu. Dari garis tangan bisa terlihat isyarat atau tanda hoki (keberuntungan) dan tidaknya seseorang.
Mungkin dari situ, muncul keinginannya untuk mengganti Ahok, panggilannya yang populer selama ini, lantas menjadi BTP. Nama pun tampaknya bisa membawa keberuntungan (hoki), atau sebaliknya.
"Saya tidak mau lagi dipanggil Ahok," katanya. "Panggil saya BTP," tambahnya.
Kepercayaan BTP pada garis tangan ini terlihat ketika ia memamerkan kesamaan (kemiripan) guratan garis tangannya dengan garis tangan istrinya, Puput Nastiti Devi.Â
Termasuk, akhirnya, Basuki Tjahaja Purnama alias BTP jadi juga didapuk sebagai komisaris utama Pertamina.Â
Apakah ini karena garis tangan, atau memang berdasarkan prestasi BTP selama ini? Kalau dilanjut pertanyaannya, (maaf) apa sebenarnya prestasi BTP selama ini?Â
Mampukah ia menjadi komisaris utama Pertamina? Bukankah ada orang yang berkata, bahwa (maaf) prestasi BTP sekadar menciptakan kegaduhan, tidak lebih?
Yang jelas, pro-kontra dan teka teki BTP akan menjabat di salah satu BUMN terjawab sudah. Kegaduhan memang selalu mengiringi sosok yang kontroversial ini sejak awal kemunculannya di kancah politik Tanah Air.
Terutama sejak menjejakkan kakinya memimpin ibu kota. Sampai ia mendekam di penjara. Karena didakwa menista agama.
Masih menjadi tanda tanya sebenarnya, apa yang membuat publik keberatan terhadap BTP, baik itu sejak ia menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, ataupun hendak diangkat sebagai pejabat di BUMN?
Apakah karena ras, suku, atau agamanya, seorang yang kontroversial dengan kebijakan-kebijakannya selama ini di DKI Jakarta, perkataannya yang kasar, karakternya yang tempramental, atau--kemarin-kemarin kaitan dengan rencana diangkatnya sebagai pejabat di BUMN--mantan narapidana dan politisi partai politik (PDI Perjuangan), atau berangkat sekadar dari ketidaksukaan saja?
Bukankah BTP selama menjabat Gubernur DKI Jakarta sudah jelas prestasi dan kinerjanya itu bagus, seperti yang dinyatakan Presiden Jokowi? Â
BTP itu punya integritas, memiliki keberanian, cepat, dan tegas dalam mengambil keputusan, apa yang dipikirkan sesuai dengan yang diucapkannya, berpikiran maju dan di luar kebiasaan (out of the box), dan tidak korup.
Maka, sekali lagi, kalau ditanyakan, apakah BTP mampu sebagai komisaris utama Pertamina?
Komisaris utama itu tugas pokoknya adalah mengawasi direksi. Kalau soal itu, maka, BTP, insya Allah, mampu menjalankan tugasnya.
Komisaris utama, dalam bayangan saya, sederhananya, karena tugasnya mengawasi, yang penting adalah bagaimana mengambil keputusan, komunikasi efektif, dan menciptakan suasana harmonis antara komisaris dan direksi, demi kemajuan perusahaan.
Meminjam kata-kata Dahlan Iskan, bahwa "Orang berprestasi cenderung sukses ditempatkan di mana pun".
Makanya, Â yakin dan support saja, seperti juga Menteri BUMN Erick Thohir yang mengangkatnya, bahwa BTP adalah seorang yang berprestasi selama ini, dan akan sukses di mana pun ia ditempatkan.
Ia akan mampu mengurai benang kusut, memberi solusi, menjadi komisaris yang tidak saja harmonis, tapi juga humoris, demi kemajuan signifikan dan keluar dari keterpurukan Pertamina saat ini.
Yang pasti, ini adalah garis tangan, dan sekaligus terbilang prestasi Basuki Tjahaja Purnama. Ahok yang dulu adalah berbeda dengan BTP yang sekarang. Ahok itu sudah berubah menjadi BTP. Di tangan dan pundaknya, terletak maju dan tidaknya, terpuruk dan tidaknya Pertamina ke depan.
Ekspektasi publik pada BTP itu sangat besar. Ini adalah tantangan tersendiri bagi BTP. Semoga ia sukses mengemban tugas negara yang tidak ringan ini.
Mulai Senin (25/11/2019), BTP akan berkantor di Pertamina sebagai komisaris utama. Mengingatkan saja, kalau nanti, ke depan ada masalah di Pertamina, (buktikan saja) orang pertama yang menjadi sasaran tembak adalah Anda, BTP. Selamat bekerja, Pak BTP!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H