Beberapa hari ini, berita tentang wacana sertifikasi layak nikah/kawin yang digagas Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menuai pro kontra dan viral di lini masa.
Gagasan wajibnya sertifikasi layak menikah melalui semacam bimbingan perkawinan atau pranikah bagi calon mempelai ini rencananya akan direalisasikan tahun depan. (Sumber)
Terlepas gagasan ini sebenarnya bukan genuin dan bukan hal baru. Karena bimbingan perkawinan dan pemberian sertifikatnya selama ini rutin dilaksanakan dan menasional pula.
Pelaksanaanya biasa dilakukan terutama di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sebagai program kerja Direktorat Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama. Walaupun diakui masih ada hal-hal yang perlu dievaluasi dan ditingkatkan.
Kebijakan bimbingan perkawinan selama ini sifatnya sunah muakad. Artinya, harus tapi sifatnya tidak wajib, fleksibel dan tidak memaksa yang membuat calon mempelai mengalami hambatan dan kendala dalam pelayanan nikah.
Secara teknis pelaksanaan bimbingan perkawinan atau pranikah--dulu dikenal dengan istilah Kursus Calon Pengantin (Suscatin)--di KUA, yang (sekarang) penyelenggara dan penanggungjawabnya adalah Seksi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kantor Kementerian Agama Kota/Kabupaten selama dua hari minimal sebulan sekali.
Adapun tentang sertifikat layak nikah/kawin dikeluarkan oleh Puskesmas bagi calon mempelai sejak mengurus berkas administrasi pernikahan di tingkat kelurahan.
Pengalaman di DKI Jakarta (atau bisa jadi di wilayah lain) dan sudah berjalan dalam setahun ini, bahwa sertifikat layak nikah/kawin dari Puskesmas itu adalah fardu 'ain, dan syarat yang wajib dipenuhi oleh calon mempelai dalam pelayanan administrasi pernikahan di kelurahan.
Berkas pengantar kehendak nikah dari kelurahan, setelah itu dibawa ke Kantor Urusan Agama (KUA) di mana calon mempelai akan melangsungkan akad nikah.
Sebagai informasi, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama, bahwa calon mempelai harus menyelesaikan (membayar) biaya nikah dan rujuk sebesar Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah), di kantor pos atau bank, terutama bagi calon mempelai yang tempat pelaksanaan akad nikahnya di luar jam kerja dan atau di luar kantor (KUA), atau pada hari libur.
Bagi calon mempelai yang akan menikah di kantor (KUA), dan pada hari dan atau jam kerja, dan atau berlatar belakang kurang mampu (secara ekonomi) dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari pihak kelurahan, tidak dipungut biaya alias gratis atau Rp0,00.
Proses selanjutnya, calon mempelai harus mengikuti bimbingan perkawinan, atau Kursus Calon Pengantin (Suscatin) tadi dan tentu saja mendapat sertifikat.
Dalam bimbingan perkawinan dipresentasikan materi-materi meliputi hukum munkahat/hukum perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, kiat-kiat membangun dan membentuk keluarga sakinah atau keluarga bahagia, manajemen keuangan keluarga, kesehatan reproduksi dan kesehatan keluarga.
Bimbingan perkawinan atau pranikah dan sertifikat layak nikah/kawin ini ada plus minusnya.
Plusnya, calon mempelai mendapat bekal pengetahuan (secara kognitif) dalam memasuki gerbang kehidupan rumah tangga.
Selain itu, sebagai upaya membentuk keluarga yang bahagia (keluarga sakinah). Juga diharapkan sebagai upaya mencegah dan mengurangi angka perceraian yang tampaknya selalu meningkat setiap tahun.
Minusnya, bahwa prinsip pelayanan prima dan efektif, tidak berbelit-belit, cepat, dan tidak menyulitkan publik, memangkas mata rantai pelayanan yang panjang dan bertele-tele, mempermudah dan menyederhanakan pelayanan adalah percuma dan sia-sia, jika bimbingan perkawinan memakan waktu yang panjang, apalagi sampai tiga bulan.
Karena selama ini pernah terjadi setengah hari pelaksanaannya dan sekarang menjadi dua hari berturut-turut saja sudah menjadi kendala yang sangat menyulitkan dan memberatkan calon mempelai.
Alasannya terbentur soal waktu dan pekerjaan. Mau tidak mau harus meninggalkan pekerjaan atau minta izin dari tempat kerjanya. Efeknya banyak yang tidak bisa hadir mengikuti bimbingan perkawinan ini.
Ditambah sebelum ke KUA atau Kantor Catatan Sipil, tidak sedikit calon mempelai yang mengeluh dan menceritakan keberatan atas kebijakan menjadikan serifikat layak nikah/kawin dari Puskesmas sebagai syarat wajib untuk menikah.
Dihitung-hitung ternyata calon mempelai mendapatkan serifikat lebih dari satu sertifikat sebelum menikah. Kebanyakan sertifikat jadinya.
Belum lagi menyangkut alokasi dana pelaksanaan bimbingan perkawinan ini. Berarti perlu penambahan dalam penyerapan anggaran negara. Selama ini saja, dalam pelaksanaan bimbingan perkawinan yang melulu menjadi kendala adalah soal klasik yang berkaitan dengan alokasi dana.
Sebagai informasi bahwa alokasi dana untuk bimbingan perkawinan yang dilaksanakan di KUA selama ini diambil dari dana APBN yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) nikah dan rujuk.
Tidak aneh kalau ada yang bilang, repot banget mau menikah saja. Calon mempelai bisa-bisa stres duluan. Jangan sampai gara-gara kebijakan ini, calon mempelai gagal menikah, karena tidak lulus dan diklaim belum atau tidak layak untuk menikah.
Padahal selama ini calon mempelai belum lagi direpotkan tetek bengek urusan yang berkaitan dengan resepsi pernikahan.
Dari soal memesan tempat (gedung) resepsi, catering, busana pengantin, fotografi, rias pengantin, pelaminan, dekorasi, dan seterusnya, yang juga perlu dipikirkan, terutama karena soal dana atau biaya yang harus disiapkan.
Pertanyaannya, bagaimana proses dan teknis pelaksanaannya kalau bimbingan perkawinan dilaksanakan selama tiga bulan? Dari segi waktu, apa itu tidak semakin merepotkan dan mempersulit calon mempelai?
Bagaimana mengukur calon mempelai layak dan tidaknya menikah dengan hanya mengikuti bimbingan perkawinan atau pranikah sehingga mendapat sertifikat?
Apakah bimbingan perkawinan yang selama ini dilaksanakan berpengaruh efektif dalam mencegah dan mengurangi angka perceraian, sementara trennya semakin meningkat setiap tahunnya? Ini tampaknya perlu penelitian untuk mengukur berhasil tidaknya bimbingan perkawinan.
Bukankah dalam bahasa agama (Islam) ada prinsip yang mengajarkan bahwa pelayanan publik itu mestinya, "Mudahkan, jangan dipersulit!" (Yassir wala tu'assir)? Jangan sampai terjadi lagi prinsip yang sudah usang, "Kalau masih bisa dipersulit, kenapa tidak?"
Sebagai catatan kaki, bahwa kebijakan bimbingan perkawinan dan sertifikat layak nikah/kawin menjadi syarat yang wajib dipenuhi oleh calon mempelai adalah kebijakan yang baik dan perlu mendapat apresiasi.Â
Tentu karena tujuannya juga adalah baik. Diharapkan berhasil guna, efektif dan signifikan dalam membentuk keluarga bahagia, keluarga sakinah.
Namun, kebijakan ini perlu pertimbangan dan pemikiran yang matang. Jangan sampai terjadi kontra produktif. Apalagi rencananya dilaksanakan dalam rentang waktu tiga bulan.
Kebijakan ini tidak boleh membebani dan mempersulit calon mempelai dalam pelayanan pernikahan. Apalagi, sampai menuai protes publik.
Penting juga, alokasi dana, dan jangka waktu pelaksanaannya harus dipertimbangkan lagi. Jangan sampai menjadi batu sandungan dalam pelayanan prima di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil yang sudah berjalan baik selama ini. Jadi banyak yang harus dipertimbangkan lagi tentang kebijakan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H