Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kembali Bom Bunuh Diri Terjadi, Inilah Bahayanya Ekstremisme

13 November 2019   12:20 Diperbarui: 13 November 2019   23:18 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.kompas.tv/live

Bom bunuh diri terjadi di Polrestabes Medan sekitar pukul 08.45 WIB. (13/11/2019), pagi ini. (Sumber)

Aksi berlatar belakang ekstremisme (kata lain dari radikalisme) kembali terjadi. Masihkah kita memandang sebelah mata atas bahaya laten ekstremisme ini?

Adalah benar bahwa tidak semua simbol pakaian (penampilan: bercadar, berjenggot, dan bercelana cingkrang, misalnya) adalah ekspresi dari ekstremisme. Walaupun, ada kesesuaian dengan ektremisme dalam satu dua kasus (kalau tidak bisa disebut hampir semua  pelaku ekstremisme seperti itu). Karena ekstremisme [LEBIH] cenderung bersumber dari cara berpikir, bukan dari cara berpakaian (penampilan).

Ekstremisme jauh lebih besar bahayanya daripada terorisme karena orang tidak dapat dihukum hanya dengan berpikir, kecuali ketika sudah berbuat.

Ekstremisme juga merupakan ladang subur berkembangnya benih-benih aksi kekerasan dan atau terorisme yang sekarang bukan lagi merambah orang dewasa namun telah melibatkan generasi harapan bangsa, anak-anak kita tercinta.

Beberapa pakar pendidikan dan psikolog keluarga memaparkan indikasi ekstremisme ini terjadi sejak seseorang mulai menutup dirinya untuk menerima perbedaan cara berpikir dan budaya, merasa keyakinannya superior, lebih murni dan mengajak orang lain untuk memiliki cara berpikir yang sama dengan dirinya dengan berbagai macam cara, dari yang persuasif hingga paksaan, intimidasi, group atau social bullying dan bentuk lainnya.

Cara "mengkader" orang lain pada umumnya melalui ajakan yang sangat menarik, tetapi ujungnya mengubah cara pikir orang lain terhadap keluarga, tujuan hidup, interaksi dengan lingkungan sekeliling, masyarakat, dan negara.

Indikasi dari begitu banyak orang yang putus hubungan, baik luring maupun daring, dengan teman SD, SMP, SMA dan kuliah bahkan pasangan suami istri berujung perceraian karena perbedaan cara melihat hidup dan masa depan bangsa adalah realitas yang tidak bisa dimungkiri.

Titik tolak dan tolok ukur perubahannya adalah ketika seseorang mulai merasa tidak nyaman berelasi di luar kaumnya sendiri, cenderung tidak ingin berinteraksi dengan keyakinan berbeda ataupun mereka yang memiliki cara berpakaian berbeda.

Wacana ini keluar bukan karena rasionalitas kebangsaan demi kepentingan bersama, tetapi dikendarai oleh politisasi identitas dan agama demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Argumen yang selalu dikumandangkan adalah pemisahan identitas melalui kekerasan, paksaan, intimidasi, dan pemecah-belahan. Ujungnya pembelaan hanya terhadap satu kaum, bukan berdasarkan tujuan mencapai kebinekaan, keberagaman, saling menerima perbedaan, dan harmonis.

Ekstremisme adalah pemikiran, sikap, dan tindakan orang atau kelompok orang yang menuntut suatu perubahan serta menentang struktur masyarakat atau negara yang diungkapkan secara keras, termasuk penyebaran stereotipe negatif, paksaan, intimidasi baik individu atau kelompok dalam rangka membangun masyarakat yang homogen sesuai dengan ideologi atau agama tertentu.

Tindakannya mencakup usaha penyebaran, baik daring maupun luring, yang mengajak dan mengumpulkan simpatisan dari membenci golongan atau kelompok tertentu hingga melanggar konsensus bangsa (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI).

Ekstremisme terjadi ketika munculnya wujud tindakan yang menolak perbedaan, eksklusif, membuat dunia kita menjadi masyarakat homogen melalui pemaksaan, intimidasi mayoritas terhadap kelompok atau individu, ataupun ancaman jika tidak mengikuti keinginan kelompok tertentu dengan cara memberikan sanksi sosial ataupun perisakan terselubung. (Sumber).

Bisa juga ektremisme muncul karena dua faktor ini. Pertama, agama sering kali menjadi alat justifikasi dari ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Terjadilah politisasi agama. Agama menjadi kedok untuk kepentingan politik.

Kedua, wawasan dan pemahaman keagamaan yang rigid dan sempit. Misalnya, pemikiran bahwa mati karena bom bunuh diri itu adalah mati syahid, dijamin masuk surga adalah pemikiran yang keliru dan tak berdasar dalam Islam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun