Bom bunuh diri terjadi di Polrestabes Medan sekitar pukul 08.45 WIB. (13/11/2019), pagi ini. (Sumber)
Aksi berlatar belakang ekstremisme (kata lain dari radikalisme) kembali terjadi. Masihkah kita memandang sebelah mata atas bahaya laten ekstremisme ini?
Adalah benar bahwa tidak semua simbol pakaian (penampilan: bercadar, berjenggot, dan bercelana cingkrang, misalnya) adalah ekspresi dari ekstremisme. Walaupun, ada kesesuaian dengan ektremisme dalam satu dua kasus (kalau tidak bisa disebut hampir semua  pelaku ekstremisme seperti itu). Karena ekstremisme [LEBIH] cenderung bersumber dari cara berpikir, bukan dari cara berpakaian (penampilan).
Ekstremisme jauh lebih besar bahayanya daripada terorisme karena orang tidak dapat dihukum hanya dengan berpikir, kecuali ketika sudah berbuat.
Ekstremisme juga merupakan ladang subur berkembangnya benih-benih aksi kekerasan dan atau terorisme yang sekarang bukan lagi merambah orang dewasa namun telah melibatkan generasi harapan bangsa, anak-anak kita tercinta.
Beberapa pakar pendidikan dan psikolog keluarga memaparkan indikasi ekstremisme ini terjadi sejak seseorang mulai menutup dirinya untuk menerima perbedaan cara berpikir dan budaya, merasa keyakinannya superior, lebih murni dan mengajak orang lain untuk memiliki cara berpikir yang sama dengan dirinya dengan berbagai macam cara, dari yang persuasif hingga paksaan, intimidasi, group atau social bullying dan bentuk lainnya.
Cara "mengkader" orang lain pada umumnya melalui ajakan yang sangat menarik, tetapi ujungnya mengubah cara pikir orang lain terhadap keluarga, tujuan hidup, interaksi dengan lingkungan sekeliling, masyarakat, dan negara.
Indikasi dari begitu banyak orang yang putus hubungan, baik luring maupun daring, dengan teman SD, SMP, SMA dan kuliah bahkan pasangan suami istri berujung perceraian karena perbedaan cara melihat hidup dan masa depan bangsa adalah realitas yang tidak bisa dimungkiri.
Titik tolak dan tolok ukur perubahannya adalah ketika seseorang mulai merasa tidak nyaman berelasi di luar kaumnya sendiri, cenderung tidak ingin berinteraksi dengan keyakinan berbeda ataupun mereka yang memiliki cara berpakaian berbeda.
Wacana ini keluar bukan karena rasionalitas kebangsaan demi kepentingan bersama, tetapi dikendarai oleh politisasi identitas dan agama demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Argumen yang selalu dikumandangkan adalah pemisahan identitas melalui kekerasan, paksaan, intimidasi, dan pemecah-belahan. Ujungnya pembelaan hanya terhadap satu kaum, bukan berdasarkan tujuan mencapai kebinekaan, keberagaman, saling menerima perbedaan, dan harmonis.