Penjual: "kami hanya franchise.... Kalau ibuk mau complain tentang produk, silahkan langsung ke pusat"
Kemudian istri saya menggesek "credit card" miliknya dan melakukan tandatangan secara elektronik. Transaksi jual belipun selesai. Beberapa langkah, kami sudah sampai di ujung jalan bawah tanah. Naik ke atas pakai lift, pintu lift terbuka tepat di belakang icon Tanjung Pinang.
Restoran Terapung
Di sisi kiri Gedung "opera" Gonggong, ada semacam pasar seni. Kami melihat lihat lukisan hasil karya pelukis tempatan. Ada pelukis karikatur 15 menit jadi, Rp150 ribu. Istri minta agar dibuat karikatur wajahnya. "jangan wajah dan badan," istri saya wanti wanti kepada karikaturis.
Tak sabar menunggu, saya berjalan ke sudut kuliner lokal. Membeli cemilan lempok durian dan kerupuk emping. Setelah lukisan karikatur wajah selesai, kami menuju ke arah laut. Di situ ada jembatan ke restoran apung. Saya memesan "Caf au lait," sedangkan istri memilih "Caff macchiato." Sambil menikmati sunset, istri "berceloteh" tentang manfaat kaca mata Ray-Ban. Saya antara mendengar dan tidak, karena asik membaca cerpen karya Haruki Murakami yang berjudul "Town of Cats"
Ke mana mana, saya membawa "Nook," sebuah gadget yang bisa menyimpan lebih dari 1500 judul buku, novel dan cerpen. Sayapun bisa membaca seratus lebih koran koran dari berbagai penjuru dunia. Saya langganan beberapa koran dan majalah, sehingga bisa membaca edisi semenjak terbit pertama, dan bisa membaca semua halaman tanpa batas.
Tiba tiba istri berteriak:" wow...lihat....ada ikan lumba lumba di arah kiri pulau Penyengat." Gerombolan lumba lumba itu kemudian menuju ke arah restoran terapung di depan Gedung "opera" Gonggong. Ternyata kota Tanjung Pinang telah memperkerjakan ahli biologi laut untuk "menghidupkan" kembali lumba lumba yang pernah ada "melompat lombat" di depan laut Tanjung Pinang sekitar 50 tahun lalu.
Gedung "Opera" Gonggong
Icon kota Tanjung Pinang, layaknya opera Sidney yang fungsinya selain sebagai icon, juga sebagai pusat pertunjukan. Perbedaannya, Gedung Gonggong menjadi mediasi pagelaran tari, music dan drama Melayu. Pementasan dilakukan oleh baik kalangan seniman professional, amatir dan bahkan yang baru saja belajar seni. Siapa saja.
Ketika antri untuk beli tiket masuk untuk menonton pagelaran seni Melayu, saya lihat ada beberapa seniman yang saya kenal, diantaranya Husnizar Hood dan Teja Alhabd Sangkejora. Dalam hati:"apa orang ini mau berpantun atau bersilat atau malah kampanye?"
Tiba tiba saya dikejutkan oleh bunyi jam weker...... ternyata, hanya mimpi !!.....