Mohon tunggu...
Muhammad Viki Riandi
Muhammad Viki Riandi Mohon Tunggu... Penulis - Founder Komunitas Sayang Jiwa dan Otak | Founder Lingkar Yatim Khatulistiwa

Seorang hamba yang sangat bergantung pada Rabb-nya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teologi Sosial dan Kepemimpinan Islam: Memaknai Jabatan Sebagai Amanah, bukan Privilage

1 Februari 2025   22:28 Diperbarui: 1 Februari 2025   22:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
( Dokumentasi pribadi, diambil saat penulis mengisi materi dalam agenda Baitul Arqam Dasar PDPM Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. )

Pontianak, 1 Februari 2025. Dalam dinamika kehidupan sosial dan kepemimpinan Islam, ada satu kaidah yang sering dikutip namun masih jarang dipahami maknanya secara mendalam: 

"Man izdda maudhi'an wa lam yazdad karaman, lam yazdad shuhbatan illa bu'dan."


(Barang siapa yang bertambah tempat kedudukannya tetapi tidak bertambah kemuliaannya, maka tidak akan bertambah pergaulannya kecuali semakin jauh dari orang-orang.)


(Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya "Raudhatul Uqala".)

Kaidah ini menegaskan bahwa posisi, jabatan, atau status sosial seseorang bukanlah sekadar privilege yang memberikan keuntungan personal, melainkan amanah yang harus diiringi dengan peningkatan kualitas akhlak, dan kontribusi sosial. Jika seseorang naik jabatan tetapi tidak bertambah kemuliaannya dalam arti kebijaksanaan, kedermawanan, dan manfaatnya bagi orang lain, maka justru posisinya hanya akan membuatnya semakin terasing dari masyarakat.

Teologi Sosial: Islam dan Keseimbangan Sosial

Teologi sosial dalam Islam menekankan bahwa manusia memiliki peran sebagai khalifah di muka bumi, yang berarti setiap individu, terutama pemimpin, bertanggung jawab untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat, serta antara hak pribadi dan kepentingan sosial. Kepemimpinan bukan sekadar tentang otoritas, tetapi tentang mengemban tanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan.

Islam tidak memisahkan antara spiritualitas dan realitas sosial. Pemimpin dalam Islam tidak hanya harus memiliki kecakapan dalam administrasi, tetapi juga memahami bahwa setiap kebijakan yang diambil akan berdampak pada kehidupan banyak orang. Rasulullah Shalaullahu alaihi wasallamah  menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, sebagaimana sabdanya:

"Sayyidul qaumi khadimuhum"

 (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka) 

(HR. Abu Nu'aim dalam Hilyatul Auliya').

Dengan demikian, seorang pemimpin dalam Islam harus menanggalkan egoisme, dan kepentingan pribadi demi kesejahteraan umat. Kepemimpinan bukan tempat untuk mencari keuntungan, melainkan sarana untuk mengabdi dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Keteladanan Para Pemimpin Islam yang Berhasil

Sejarah Islam mencatat banyak pemimpin besar yang tidak hanya memiliki kekuasaan, tetapi juga menjadikan kedudukan mereka sebagai sarana untuk menebarkan kemuliaan. Rasulullah Shalaullahu alaihi wa sallamah adalah contoh utama seorang pemimpin yang tidak pernah menjadikan jabatannya sebagai alat untuk memperoleh keuntungan pribadi. Beliau tetap hidup dalam kesederhanaan, selalu memikirkan kesejahteraan umat, dan tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk menumpuk kekayaan. Dalam berbagai kesempatan, Rasulullah menunjukkan bagaimana kepemimpinan sejati harus didasarkan pada kasih sayang, keadilan, dan pelayanan tanpa pamrih kepada masyarakat.

Di masa pemerintahan Umar bin Khattab , keadilan menjadi prinsip utama yang diterapkan tanpa pandang bulu. Ia dikenal sering berkeliling pada malam hari untuk memastikan rakyatnya hidup dengan layak, bahkan pernah menanggung beban kesulitan rakyatnya dengan menahan diri dari menikmati makanan enak di tengah paceklik. Ketegasannya dalam menegakkan hukum dan keadilannya yang tidak bisa dibeli oleh kekuasaan menjadikannya sosok pemimpin yang disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan.

Keteladanan lain datang dari Salahuddin Al-Ayyubi, seorang pemimpin militer yang berhasil membebaskan Yerusalem dari Tentara Salib. Namun, kemenangan itu tidak diwarnai dengan balas dendam, melainkan dengan kebesaran hati. Ia menjamin keselamatan warga non-Muslim dan memberikan hak-hak mereka dengan adil, membuktikan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan.

Utsman bin Affan juga menjadi contoh pemimpin yang menjadikan kekayaannya sebagai sarana untuk kemaslahatan umat. Ia membeli sumur Raumah dan menyedekahkannya kepada masyarakat, memastikan kebutuhan air bagi orang-orang yang membutuhkan. Sikapnya yang dermawan dan kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyatnya menjadikan pemerintahannya dikenang sebagai salah satu masa keemasan dalam sejarah Islam.

" Sayangnya, banyak pemimpin saat ini yang jauh dari esensi kepemimpinan sejati. Jabatan sering kali dijadikan alat untuk memperkaya diri, mempertahankan kekuasaan, atau bahkan menekan rakyat kecil. Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia politik, tetapi juga dalam dunia bisnis, organisasi, dan bahkan dalam lingkungan akademik."

Menyiapkan Diri sebagai Pemimpin yang Ideal

Untuk menjadi pemimpin yang tidak hanya sukses tetapi juga membawa keberkahan, generasi muda harus menyiapkan diri dengan:

  • Memahami Konsep Amanah
    Jabatan bukan sekadar kehormatan, tetapi tanggung jawab besar. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kebijakannya di hadapan Allah.

  • Mengasah Ilmu dan Akhlak
    Ilmu kepemimpinan harus digabungkan dengan akhlak yang luhur. Pemimpin sejati tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas dan memiliki kepedulian sosial.

  • Belajar dari Sejarah dan Keteladanan Pemimpin Islam
    Memahami bagaimana Rasulullah dan para sahabat menjalankan kepemimpinan mereka akan memberikan wawasan mendalam tentang prinsip kepemimpinan yang sejati.

  • Berlatih dalam Organisasi dan Komunitas
    Kepemimpinan tidak bisa hanya dipelajari di buku, tetapi harus dipraktikkan. Bergabunglah dalam komunitas, organisasi, atau proyek sosial untuk mengasah keterampilan kepemimpinan secara langsung.

  • Memiliki Visi dan Tujuan yang Jelas
    Pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki visi besar untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat, bukan sekadar mengejar popularitas atau kekayaan pribadi.

  • Menjaga Kedekatan dengan Masyarakat
    Pemimpin yang baik selalu hadir di tengah masyarakat, memahami keluhan mereka, dan mencari solusi terbaik untuk kebaikan bersama.

Kepemimpinan dalam Islam bukan tentang mengejar kedudukan, tetapi tentang menanggung amanah. Jika seseorang mendapatkan posisi tinggi tetapi tidak bertambah kemuliaannya, maka sesungguhnya ia sedang menuju keterasingan, bukan keberkahan. Generasi muda harus memahami bahwa jabatan bukan tujuan, melainkan alat untuk berbuat lebih banyak kebaikan. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi pemimpin yang sukses, tetapi juga pemimpin yang diberkahi dan dikenang karena kontribusi nyata bagi masyarakat.

Sebagai generasi muda, kita harus menyadari bahwa kepemimpinan yang hakiki adalah ketika kita mampu membawa perubahan positif, menginspirasi, dan memberi manfaat bagi orang lain, tanpa terjebak dalam ambisi pribadi semata. Jabatan dan kedudukan hanyalah sarana untuk mewujudkan visi kebaikan, bukan tujuan utama dalam hidup kita. Jika kita terus berpegang pada prinsip ini, kita akan lebih mudah menjaga integritas dan kesederhanaan dalam menjalankan amanah yang diemban.

Tantangan bagi kita sebagai pemimpin masa depan adalah bagaimana kita bisa mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan yang bermanfaat, baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam posisi apapun yang kita jalani kelak. Kepemimpinan sejati mengajarkan kita untuk melayani, bukan dilayani. Seorang pemimpin yang sejati bukan hanya terkenal karena kedudukannya, tetapi karena ia mampu memberikan dampak yang signifikan dalam memperbaiki kehidupan masyarakat.

Kepemimpinan sejati, pada akhirnya, bukan diukur dari tingginya jabatan atau banyaknya pengikut, melainkan dari seberapa besar kontribusi yang kita berikan untuk kesejahteraan bersama. Saat kita memahami bahwa setiap posisi yang diemban adalah amanah, kita akan menyadari bahwa keberkahan dalam hidup bukan terletak pada pencapaian pribadi, melainkan pada bagaimana kita mampu memberi manfaat bagi orang lain. Pemimpin yang dikenang bukanlah yang hanya meraih puncak, tetapi yang mampu menyentuh kehidupan, memberikan inspirasi, dan menciptakan perubahan yang bertahan lama. Dalam setiap langkah, kita seharusnya bertanya, "Apakah ini untuk kebaikan bersama?" karena pada akhirnya, dampak positif itulah yang akan membentuk jejak kita dalam sejarah.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun