Pontianak, Rabu 1 Januari 2025. Â Bayangkan hidup seperti bermain game RPG. Kamu adalah tokohnya, dan tugas-tugas harianmu adalah quest yang harus diselesaikan. Namun, apa jadinya jika quest datang bertubi-tubi tanpa henti, sementara stok "mana" dan "healing potion" terus berkurang ?. Â Begitulah kira-kira rasanya stres bagi banyak anak muda saat ini. Hidup terasa seperti permainan yang sulit dimenangkan karena musuh terbesarnya adalah tekanan hidup yang terus menyerang.
Tapi tunggu dulu, ini bukan hanya tentang tantangan sehari-hari. Kita hidup di zaman serba cepat, di mana notifikasi media sosial, tugas kantor, dan tekanan sosial datang bersamaan seperti tsunami. Fenomena ini tidak hanya menguras energi tetapi juga membuat kita merasa terjebak di labirin yang penuh kebingungan.
Belakangan ini, isu tentang kesehatan mental semakin menjadi perhatian utama, terutama di kalangan generasi muda. Salah satu penyebab utama stres adalah kecanduan media sosial. Sebuah survei dari American Psychological Association (APA) tahun 2023 menunjukkan bahwa 73% anak muda merasa media sosial menjadi sumber utama tekanan hidup mereka. Fenomena ini dikenal dengan istilah doomscrolling --- kebiasaan terus-menerus membaca berita atau informasi negatif di internet.
Teknologi yang seharusnya mempermudah hidup justru menambah beban mental. Algoritma media sosial dirancang untuk menampilkan konten yang memancing emosi, seperti rasa iri, takut, atau cemas. Tidak heran, banyak anak muda merasa hidup mereka kurang bermakna karena terlalu sering membandingkan diri dengan "kesempurnaan" hidup orang lain di Instagram atau TikTok.
Selain itu, meningkatnya budaya hustle atau kerja keras tanpa henti membuat banyak anak muda merasa mereka harus selalu produktif. Padahal, otak manusia membutuhkan jeda untuk beristirahat. Jika terus-menerus dipaksa bekerja tanpa henti, tubuh akan memberikan "peringatan" berupa stres atau bahkan burnout.
Mengapa Anak Muda Rentan Stres?
Secara psikologi, masa muda adalah fase yang penuh dengan transisi. Menurut Erik Erikson, seorang psikolog perkembangan terkenal, usia muda adalah masa pencarian identitas. Di tengah usaha menemukan "siapa saya sebenarnya," anak muda kerap terjebak dalam tekanan sosial dan harapan yang tidak realistis. Tambahkan sedikit "bumbu" media sosial --- di mana hidup orang lain terlihat sempurna --- dan kita mendapatkan resep sempurna untuk rasa insecure , dan overthinking.
Dari sisi neurologi, otak anak muda, khususnya bagian prefrontal cortex yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, dan pengelolaan emosi, belum sepenuhnya matang hingga usia sekitar 25 tahun. Hal ini membuat mereka cenderung lebih impulsif, dan emosional dalam menghadapi tekanan.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Psychology tahun 2023, tingkat stres pada anak muda meningkat hingga 20% dalam satu dekade terakhir. Faktor-faktornya meliputi tekanan akademik, tuntutan ekonomi, dan ketidakstabilan global, seperti pandemi atau perubahan iklim. Sayangnya, hanya 30% dari mereka yang aktif mencari bantuan untuk mengelola stres.
Alih-alih mencari solusi sehat, banyak anak muda yang justru "lari" dari stres dengan cara yang tidak produktif. Beberapa memilih menenggelamkan diri dalam hiburan digital, seperti binge-watching drama Korea atau scrolling media sosial tanpa henti. Ada juga yang melampiaskan stres pada konsumsi makanan tidak sehat, seperti mi instan tengah malam --- sahabat sejati di kala deadline.