Bulan Ramadhan tahun 1443 H tinggal menghitung hari. Bulan penuh berkah yang selalu dinanti oleh umat Islam. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan puasa selama sebulan.Â
Selama berpuasa, tidak diperbolehkan makan, minum, dan lainnya yang membatalkan puasa. Puasa ini bersifat wajib sebagai pengamalan rukun Islam ketiga, tujuannya untuk ketakwaan kita pada Allah SWT.
Ada kegembiraan tersendiri dalam menyambut ramadhan tahun ini. Pemerintah telah memperbolehkan shalat tarawih berjamaah di masjid, setelah dua tahun kita harus shalat tarawih di rumah.Â
Momen ini tentu sangat dinanti oleh umat Islam di Indonesia. Suasana yang kembali seperti sediakala setidaknya dapat meningkatkan kembali ketakwaan kita pada Allah SWT.
Takwa adalah takut kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan kita akan selalu mawas diri, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.Â
Ketakwaan manusia pada Allah SWT tidak begitu instan bisa didapatkan. Ketakwaan membutuhkan proses dan waktu. Manusia akan menapaki lorong waktu selama hidupnya, berjalan diantara kesempitan dan cobaan hidup.
Waktu menjadi bagian tak terpisahkan dari proses kehidupan manusia menuju ketakwaan. Waktu adalah masa lalu, kini, dan masa depan. Manusia akan terhubung pada ketiga dimensi waktu.Â
Masa lalu merupakan waktu yang telah kita lewati, bahkan mungkin terlupakan. Masa kini adalah saat aktivitas hari ini yang kita jalankan. Sedangkan masa depan adalah esok hari atau masa setelah saat ini.
Tak sedikit orang yang melewati masa lalunya dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, atau bahkan menyepelekannya.Â
Kita melewati begitu saja semua yang sudah terjadi, meski menyadari bahwa masa lalu tidak akan kembali. Apakah manusia tidak memiliki keterkaitan dengan masa lalu? Lantas, seberapa penting manusia harus memiliki keterkaitan dengan masa lalu?
Islam mengajarkan kita untuk terhubung dengan masa lalu melalui perintah atupun larangan yang tertera dalam Al Qur'an, seperti; sholat, puasa, atupun konsep hubungan sosial.Â
Islam adalah agama Allah SWT. Kita meyakini Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW. suatu Sebuah rangkaian keyakinan pada masa lalu.Â
Kita tidak bisa mengimani Rasulullah, bila kita tidak bisa mengimani nabi-nabi sebelumnya. Al Qur'an juga menyuguhkan banyak peristiwa di masa lalu.Â
Dengan kita mengimani, mengimplementasikan ajaran Al Qur'an dalam kehidupan sehari-hari, berarti kita juga telah terhubung dengan masa lalu.
Hari ini adalah masa di mana bisa menentukan hari esok kita. Seperti apa dan apa yang akan terjadi dengan kita. Apakah hari ini kita selalu bermalas-malasan? Hari ini, kita tidak bisa bermalas-malasan.Â
Kita harus rajin mengejar apa yang kita butuhkan untuk masa yang akan datang. Meski, kita hari ini sibuk dengan urusan duniawi, kita pun harus bisa menyiapkan kehidupan masa yang akan datang. Fastabiqul khairat atau berlomba--lomba dalam kebaikan.
Hari esok secara harfiah bisa berarti esok, minggu depan, bulan depan, tahun depan atau bahkan hari saat kita menjadi tua. Secara absolut, hari esok juga bisa berarti berarti kehidupan yang akan datang, setelah meninggal. Sehingga, kita harus mempersiapkan diri selagi usia masih hidup.
Inilah yang mendasari bahwa setiap orang akan memiliki keterkaitan pada masa lampau dan juga pada masa yang akan datang. Lalu, bagaimana dengan pemahaman dan meyakini masa yang akan datang atau kita sering menyebut akhirat?
Dalam Al Qur'an surat Al-Hasyr ayat 18, disebutkan bahwa "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan"
Alam setelah kehidupan ini, ADA. Namun, kita tidak boleh berharap bahwa alam akhirat seperti yang sekarang ini kita diami, berupa alam fisik. Lantas, bagaimana cara mengetahui bahwa akhirat itu ada? Hal ini tidak bisa kita selidiki secara ilmiah. Kita tahu akhirat, dari berita. Orang yang dapat berita itu ya, Nabi.Â
Keimanan menjadi dasarnya. Meskipun hari akhir itu di luar pemikiran, kita tetap harus mempercayainya. Pemahaman ini disebut supra rasional. Bila dianalogikan, seperti satuan.Â
Ada meter, meter pangkat dua masih abstrak dan bisa diterjemahkan disebut persegi, meter pangkat tiga disebut kubik, divisualkan menjadi kubus. Secara logis, meter pangkat empat harusnya ada.Â
Tapi, kita tidak bisa menerjemahkan lagi. Itu namanya supra visual. Tidak bisa diterjemahkan secara visual. Itulah cara kita meyakini kehidupan yang akan datang, yaitu akhirat.
Kemudian Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya kita hidup di dunia? Manusia disebut sebagai hamba Allah SWT, di sisi lain, manusia juga disebut sebagai khalifah.Â
Sebagai hamba Allah SWT mengisyaratkan manusia untuk mengabdi pada penciptanya. Sedangkan sebagai khalifah, manusia diisyaratkan untuk menjalankan tugas kekhalifahannya dengan berbagai kreativitas dan pengetahuannya.Â
Bertakwa adalah posisi yang tinggi agar manusia menjadi tidak rakus, selalu tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Dengan menjalankan puasa, kita akan melewati lorong waktu menuju ketakwaan pada Allah SWT.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H