Pemilu 2019 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu terkelam. Di balik naiknya angka partisipasi masyarakat, ternyata harus dibayar dengan duka yang sangat mendalam.
Betapa tidak. Bersumber dari KPU yang dimuat dalam situs www.kompas.com mencatat 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit pasca pemilu 2019.
Catatan kritis ini tentu tidak ingin terulang di pemilu 2024 dan menjadi perhatian khusus KPU untuk menyiasatinya.
Sebuah konsekuensi logis bila pada akhirnya masyarakat enggan untuk menjadi petugas KPPS.
Bila melihat realita lapangan, terutama pada saat penghitungan suara, banyak TPS yang menyelesaikan lebih dari pukul 23.00 bahkan tak sedikit pula yang selesai hingga larut malam.
Kelelahan fisik menjadi mengancam daya tahan tubuh para petugas pemilu.
Keadaan ini sebenarnya sudah diprediksi oleh komisioner KPU saat itu, sebagaimana diungkapkan salah satu anggota KPU, Wahyu Setiawan yang dipublikasikan dalam situs www.kompas.com tanggal 16 April 2019 menyatakan bahwa penghitungan suara untuk tiap KPPS akan sulit diprediksi, bahkan simulasi yang dilakukan KPU, penghitungan suara selesai pukul 24.00, itupun belum dihitung bila ada protes.
Artinya, komisioner KPU tahu bahwa petugas KPPS akan mengalami kelelahan fisik. Potensi petugas KPPS menjadi sakit menjadi sangat mungkin, realitanya sampai meninggal dunia.
Sebenarnya, bila melihat regulasi pemilu, permasalahan ini muncul dari regulasi pemilu yang ada. Dalam PKPU No. 9 tahun 2019 pasal 52 poin 6 menyebutkan bahwa penghitungan suara dilakukan secara berurutan dimulai dari penghitungan suara pemilu presiden/wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Peristiwa seperti ini tentu tidak ingin terulang di pemilu 2024. Beberapa hari kemarin, KPU melontarkan tiga wacana alternatif untuk mengantisipasi tidak terulangnya peristiwa di pemilu 2019.
Pertama, penyederhanaan surat suara. Kedua, menaikan  honor KPPS tiga kali lipat. Semula 500.000 menjadi 1,5 juta. Dan ketiga, rekrutmen KPPS.